Fragmen

Kegelisahan KH Wahid Hasyim soal Jasa Perjuangan Umat Islam

Sel, 31 Mei 2022 | 13:30 WIB

Kegelisahan KH Wahid Hasyim soal Jasa Perjuangan Umat Islam

KH Abdul Wahid Hasyim. (Foto: NU Online)

Umat Islam merupakan penduduk terbesar di Indonesia. Tidak hanya besar secara jumlah, tetapi juga besar peran dan jasanya dalam memperjuangkan dan mendirikan negara. Namun, jasa besar umat Islam kerap tak seiring dengan political will para pemimpin negara dalam memperjuangkan kesejahteraan ekonomi mereka di setiap kebijakan politik.


Kegelisahan tersebut muncul di benak KH Abdul Wahid Hasyim ketika berbincang dengan KH Saifuddin Zuhri pada akhir bulan Juni 1946. Kala itu obrolan panjang kedua pejuang dari kalangan pesantren ini membincang perjuangan umat Muslim Parakan yang hanya bermodal bambu runcing. Obrolan berlangsung di kediaman mertua KH Saifuddin Zuhri di Purworejo.


Saat itu, KH Saifuddin Zuhri melontarkan pertanyaan kepada KH Wahid Hasyim, bagaimana penilaian para pemimpin kita (tentang perjuangan rakyat Parakan)?


KH Wahid Hasyim menjawab, “selamanya ada yang positif dan negatif. Jangan lupa, yang pro kita itu pada akhirnya hanyalah kita. Adapun yang bersikap positif, mudah-mudahan mereka konsekuen hingga akhirnya tetap berpendirian bahwa umat Islam telah mempertaruhkan nyawa mereka dalam menegakkan kemerdekaan dan dalam meratakan cita-cita nasional. Adakah yang lebih mahal dibanding dengan nyawa?” (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, 2013: 384)


Menurut KH Wahid Hasyim yang harus dijaga ialah jangan sampai umat Islam tidak memperoleh hak-hak mereka secara politis. Jika perang sudah usai, jika fase perjuangan mati-hidup sudah dilewati, tentu orang mulai mengisi kemerdekaan dengan usaha-usaha membangun bangsa dan negara.


Kiai Wahid Hasyim kala itu juga berharap besar, saham umat Islam di masa paling sulit itu tidak dilupakan. Karena biasanya, manusia mudah melupakan kawan dan membuang sifat solidaritas apabila kepentingan politis, ekonomis maupun kepentingan golongan mulai menonjol -kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun- tiap golongan selalu mengutamakan golongannya sendiri sehingga kepentingan golongan lain, walaupun telah menjadi haknya, boleh diabaikan.


Di masa itu, meskipun umat Islam telah terwadahi dalam organisasi NU, Muhammadiyah, PSII, MIAI, Masyumi, namun mereka berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia secara umum. Begitu juga dalam merumuskan dasar negara, perwakilan umat Islam akomodatif terhadap umat agama lain sehingga akhirnya tidak memaksakan tujuh kata pada Piagam Jakarta. Sebab saat itu bangsa Indonesia membutuhkan persatuan dan kesatuan.


Seperti diketahui bahwa Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Soekarno, Muh. Hatta, A.A. Maramis, KH A. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin, merumuskan salah satu bunyi Piagam Jakarta yaitu: “Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”.


Sebelum Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, pada tanggal 17 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah esensinya. Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh agama di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.


Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid Hasyim, ulama muda NU putra KH Hasyim Asy’ari yang juga tak lain ayah Gus Dur. Menurut Gus Wahid saat itu, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. 


Artinya, dengan konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikkan Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada sikap intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain.


Pancasila yang akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan tersebut mewujudkan tatanan negara yang unik dalam aspek hubungan agama dan negara. Dalam arti, negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan (Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, 2010: 91). Jika saat ini ada sebagian kelompok Islam yang menolak Pancasila, bisa dikatakan dengan tegas bahwa mereka tidak ikut berjuang merumuskan berdirinya pondasi dan dasar negara ini. 


Peran Kiai Wahid Hasyim bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, tetapi juga menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk sehingga Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa Indonesia. (Fathoni)