Fragmen

Membangkitkan Kembali Tradisi 'Bagi Kisa' dalam Perayaan Maulid Nabi

Kam, 29 Oktober 2020 | 03:45 WIB

Membangkitkan Kembali Tradisi 'Bagi Kisa' dalam Perayaan Maulid Nabi

Tradisi bagi kisa. (Foto: dok. istimewa)

Maulid Nabi Muhammad saw. selalu diperingati oleh umat Islam dengan begitu meriah. Masing-masing komunitas masyarakat di berbagai wilayah memiliki tradisinya sendiri untuk menyambut dan merayakan kelahiran Sang Baginda Rasul. Tak terkecuali bagi masyarakat yang tinggal di Kampung Rumpak Sinang, Kelurahan Pakulonan Barat, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang.


Mereka saban tahun pada perayaan Maulid Nabi selalu membagi-bagikan kisa, kantong anyaman daun kelapa yang digunakan untuk membungkus, dengan ukuran 30x10 cm. Tentu saja lengkap dengan segala aneka macam makanannya.


Setiap warga mengumpulkan kisa yang telah dibuat oleh mereka kepada ketua RT setempat, lengkap dengan sembako atau berbagai sajian lainnya bergantung masing-masing individu. Lalu, tujuh ketua RT yang ada di kampung tersebut membawa kisa yang telah terkumpul di rumahnya ke Masjid Jami’ Sunnil Mukhlis, Rumpak Sinang.


Pagi 12 Rabiul Awal usai Subuh, mereka mulai prosesi peringatan Maulid Nabi di masjid dengan pembacaan tahlil dan Syaraful Anam hingga pukul 8 pagi. Barulah, setiap orang yang datang membawa pulang kisa yang telah dikumpulkan tersebut.


Entah sejak tahun berapa kapan pastinya tradisi ini dimulai. Tetapi, masyarakat sekitar meyakini bahwa tradisi ini berlangsung sejak kampung tersebut dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat Abuya Musa bin Muhadi dan Abuya Sueb bin Nawawi, sekitar awal-pertengahan abad 20. Saking sudah melekatnya dengan masyarakat sekitar, sampai-sampai Maulid Nabi di sana diistilahi dengan Bagi Kisa.


Namun, bagi kisa ini di Rumpak Sinang kini mendekati kepunahan. Hal ini terlihat pada Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. 1441 H tahun lalu, kisa yang terbuat dari daun kelapa asli dan kisa yang terbuat dari bambu hanya kurang dari 20 persen total keseluruhan. Bahkan pada peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. tahun 1442 H sekarang, kisa sudah tidak tampak. Seperti yang pasti pembaca bisa ketahui, yang ada hanyalah kantung berbahan plastik dan tas bahan atau goodybag.


Ada beberapa faktor yang membuatnya demikian selain makin banyaknya kantong plastik. Sebab paling utama adalah mentalitas masyarakat kita saat ini yang semakin manja dengan teknologi. Kita semakin ingin berbagai hal dibuat secara instan tanpa pernah berpikir panjang akan dampak positif negatifnya.


Penggunaan kantong plastik adalah salah satu hal bagian darinya mengingat masyarakat sekitar semakin tidak ingin terlalu repot dengan membuat kisa yang cukup rumit proses penganyamannya. Sementara stok plastik tak pernah habis di toko-toko terdekat dan mudah sekali diperoleh. Hal ini menjadi pilihan cepat bagi mereka.


Pilihan itu didukung dengan semakin langkanya daun kelapa di Kampung Rumpak Sinang. Kelangkaan itu diakibatkan dari adanya perumahan elit Summarecon Serpong yang menghimpitnya sejak sekitar 10 tahun lalu. Pohon kelapa sudah jarang lagi ditemui di wilayah tersebut.


Di Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. 1441 H ini, hanya H Madsuri seorang yang masih membuat kisa dari sekian ribu warga Kampung Rumpak Sinang. Ya, cuma seorang saja. Tidak ada yang lain, ia sendirian menganyam daun kelapa menjadi kisa. Bahkan tahun ini, ia mengaku sudah tidak mampu membuatnya sehingga praktis tidak ada kisa sama sekali di tahun ini.


Kelangkaan kisa yang hanya dibuat setahun sekali ini berdampak pada banyak hal. Pertama, tentu saja semakin banyaknya sampah plastik di wilayah tersebut yang semestinya harus dikampanyekan mulai dikurangi. Pasalnya, plastik menjadi sampah yang sangat sulit diurai oleh bumi, bahkan hingga ratusan tahun ia tidak berubah dan berdampak pada perubahan ekosistem.


Kedua, tradisi turun-temurun yang hilang membuat masyarakat kehilangan identitasnya sebagai warga setempat. Padahal, Bagi Kisa sudah menjadi ciri khas orang mengenal kampung tersebut di setiap Perayaan Maulid Nabi.


Hal lain yang hilang selain tradisinya adalah kreativitas masyarakatnya yang juga semakin terhenti akibat keinginan yang serba instan. Pun dengan hubungan kemasyarakatannya ada yang putus, yakni saat pembuatan kisa berlangsung.

 

Bagi warga yang memang tidak memiliki daun kelapa, ada proses hubungan bermasyarakat dengan memintanya ke yang memilikinya lebih banyak dari kebutuhan. Dalam proses pembuatannya, juga bisa dilakukan sembari berbincang santai dengan sanak keluarga atau tetangga. Berbeda dengan plastik atau goodybag yang sekadar proses jual beli saja.


Hal yang paling disesali dari hilangnya tradisi adalah tercerabutnya masyarakat dari akar budayanya sendiri. Mereka akan buta sejarah, tidak lagi mengenal sosok Abuya Musa dan Abuya Sueb, tokoh agama di zaman dahulu yang membuat Islam semakin kokoh di Bumi Rumpak Sinang. Padahal keduanya telah berhasil menanamkan agenda pribumisasi Islam, sebagaimana yang disebut Gus Dur.


Ala kulli hal, para pemuda di sana harus belajar kepada sesepuh untuk terus melestarikan tradisi tersebut. H Madsuri bisa menjadi guru untuk mengajarkan cara membuat kisa yang baik. Pun H Madsuri sendiri juga perlu untuk mengampanyekan kembali pembuatan kisa.

 

Simbiosis ini penting demi lestarinya tradisi tersebut. Upaya karang taruna tiga tahun lalu, sebagaimana disampaikan Dedi Muhadi, warga setempat, yang pernah bisa menghasilkan 100 kisa perlu untuk dihidupkan lagi.


Memang, dalam menjaga hal ini butuh tenaga. Tetapi kalau sudah hilang, akan lebih sulit lagi untuk mengembalikannya. Selagi sekarang masih bisa, kenapa tidak?

 


Muhammad Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta