Fragmen

Pancasila, Trisila, Ekasila dalam Pandangan Sukarno dan KH Achmad Siddiq (Bagian 3-Habis)

Sen, 20 Juli 2020 | 03:00 WIB

Pancasila, Trisila, Ekasila dalam Pandangan Sukarno dan KH Achmad Siddiq (Bagian 3-Habis)

Bahkan, Sukarno sendiri menginginkan Pancasila (dasar final) sebagai dasar bagi negara Indonesia Merdeka, bukan Trisila atau Ekasila (yang bersifat opsional).

Penetapan UUD pada 18 Agustus 1945 dan Dekrit Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959 juga seharusnya dalam konteks ini menyudahi diskusi antara lain soal Trisila dan Ekasila yang membuka kemungkinan berbagai persepsi.


“Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan konstitusi tersebut,” kata Sukarno dalam Dekrit Presiden yang ditetapkan di Jakarta pada 5 Juli 1959 dan kemudian dibacakan kembali dalam pidato 17 Agustus 1959. (Sukarno, Pancawarsa Manipol, [Jakarta, Panitia Pembina Jiwa Revolusi: 1964 M], halaman 43).

 


Dalam pengantar Pidato 1 Juni 1945 yang dibukukan dengan judul Camkan Pancasila: Pancasila Dasar Falsafah Negara, (Jakarta, Departemen Penerangan RI: 1964 M), Sukarno menyebut Pancasila sebagai satu-satunya ideologi nasional yang dipertahankan dengan gigih.


Sukarno mengajak segenap masyarakat untuk “berpegang teguh pada 3 pokok pengertian dari Pancasila ialah: (1) Pancasila sebagai pemerasan kesatuan jiwa Indonesia. (2) Pancasila sebagai manifestasi persatuan bangsa dan wilayah Indonesia. (3) Pancasila sebagai Weltanschauung bangsa Indonesia dalam penghidupan nasional dan internasional. (Sukarno, 1964 M: 3).


Sebenarnya Sukarno sendiri dalam pidato 1 Juni 1945 telah menegaskan bahwa apapun kesepakatan yang akan diambil oleh peserta sidang BPUPKI (yang saat itu muncul sejumlah opsi) harus mencakup lima sila yang diajukannya pada awal pidato. Bahkan, ia sendiri menginginkan Pancasila (dasar final) sebagai dasar bagi negara Indonesia Merdeka, bukan Trisila atau Ekasila (yang bersifat opsional).


“Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara-saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan, untuk permufakatan, untuk sociale rechtvaardigheid, untuk ke-Tuhanan. Pancasila itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun.” (Sukarno, 1964 M: 33).

 


Adapun pidato Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1959 berkepala “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (yang juga memuat di dalamnya Dekrit Presiden RI pada 5 Juli 1959) adalah garis-garis besar daripada haluan negara sebagaimana suara bulat Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam sidangnya ke-II tanggal 23, 24, dan 25 September 1959.


“Karena itu saya harapkan supaya Manifesto Politik (pidato Presiden RI pada tanggal 17 Agustus 1959 yang mengulang kembali teks dekrit presiden) tersebut dipelajari dan dipahami oleh tiap warga negara Indonesia….” (Sukarno, 1964 M: 9). (selesai…)


Penulis: Alhafiz Kurniawan

Editor: Abdullah Alawi