Nasional

Gus Nadir: Indonesia Terbentuk dari Keberagaman, bukan Keseragaman

Sel, 7 Juli 2020 | 00:00 WIB

Gus Nadir: Indonesia Terbentuk dari Keberagaman, bukan Keseragaman

Ilustrasi: Pancasila dan Kebinekaan

Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Australia dan New Zealand, Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) menyebut bahwa paham-paham yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain semakin banyak di Indonesia. Paham-paham ini di antaranya seperti kelompok anti barat, anti Arab, dan anti nusantara. Sementara ada juga beberapa orang yang ingin kembali ke masa orde baru karena dirasa memiliki sistem ketatanegaraan yang paling baik.


“Kita lihat saat ini dari tatanan budaya mereka ada yang anti barat karena merasa  paling nasionalisme atau yang disebut juga ultra-nasionalisme. Mereka ada juga yang merasa paling benar mengatakan bahwa Islam itu tidak mengenal kebangsaan dan ketanah-airan, sehingga ini menjadi bahaya. Karena Indonesia terbentuk dari keberagaman bukan keseragaman,” jelas Gus Nadir.


Kelompok ini menurut Gus Nadir sangat berbahaya karena berebut ingin mengganti ideologi Pancasila di Indonesia dengan ideologi mereka. Kelompok khilafah (ekstrim kiri) ingin merubah Pancasila dan menjadikan Indonesia negara Islam, sementara komunis (ekstrim kanan) ingin merubah tatanan yang ada dengan sistem komunis.


“Namun tidak hanya ekstrem kanan dan kiri. Muncul juga ekstrem tengah yaitu kelompok yang merasa paling Pancasila, kemudian hendak memonopoli arti Pancasila,” jelas Gus Nadir.    


Paham-paham yang tidak selaras dengan Pancasila ini terus melakukan pergerakan di Indonesia. Mereka melakukan berbagai macam cara untuk menyebar pahamnya melalui jalur media, pendidikan dan jalur-jalur lainnya.


Ia memberi contoh, sistem pendidikan di Indonesia yang meloloskan buku terkait khilafah dan pembahasan membunuh orang kafir. Buku-buku ini beredar luas dan memunculkan persoalan besar, di samping juga perekrutan guru pengajar di sekolah dan kampus umum yang bermasalah.


Menurut Dosen Fakultas Hukum Monash University Australia ini, masih ada guru yang latar belakang pendidikannya bukan mendalami agama Islam namun dipaksakan untuk mengajar mata pelajaran agama Islam. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kualitas dan arah pendidikan di Indonesia.


“Belakang ini kita lihat di media sosial viral mengenai buku pelajaran untuk sekolah umum dan madrasah yang isinya gerakan radikalisme. Membuat publik kaget dan menyita perhatian khusus terkait peredaran buku. Selain itu satuan pendidikan di sekolah yang memang bukan ahli dalam bidangnya jangan dipaksakan mengajar pelajaran itu utamanya agama Islam,” bebernya.


Paparan ini disampaikannya pada Webinar Wawasan Kebangsaan dalam Sistem Pendidikan Islam yang diinisiasi oleh IAIN Kendari, Senin (6/7) pagi. Kegiatan tersebut diikuti oleh Rektor IAIN Kendari Faizah Binti Awad, Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FATIK) IAIN Masdin, dan para mahasiswa IAIN Kendari.
   

Kontributor: Mochamad Ronji
Editor: Muhammad Faizin