Opini

Islam, Pancasila, dan Harmonisasi Kehidupan Berbangsa

Rab, 24 Juni 2020 | 06:45 WIB

Islam, Pancasila, dan Harmonisasi Kehidupan Berbangsa

Ilustrasi Pancasila. (Foto: NU Online)

Pancasila merupakan khittah bangsa Indonesia, yaitu landasan berpikir, bertindak, dan berperilaku segenap warga negara. Pancasila merupakan dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia yang lahir dari kesepakatan bersama. Pancasila diakui oleh dunia sebagai ideologi yang demokratis. Sebab, di dalam pancasila terdapat nilai-nilai yang universal secara agama, budaya, dan kemanusiaan.


Rumusan Pancasila yang komprehensif tersebut tidak terlepas dari peran founding fathers yang brilian dalam memikirkan dan merenungkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan agung serta keberagaman bangsa Indonesia. Berdasarkan pemikiran tersebut, mereka dapat menyatukan bangsa Indonesia dengan tali pengikat pancasila. Sehingga persatuan dan kesatuan tetap terjaga dari zaman kolonialisme hingga modernisme seperti sekarang.


Bahkan Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi kemasyarakatan yang diatur dalam Tap MPR No. II/1983 tentang GBHN dan dikukuhkan dengan UU No. 8 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan (Einar M. Sitompul, NU dan Pancasila, 2010). Meskipun ada orientasi mengukuhkan kekuasaan orde baru dengan paradigma tersebut untuk menangkal kelompok-kelompok kritis terhadap pemerintah.


Pancasila harus dipahami untuk diterapkan dalam kehidupan kebangsaan agar tercipta persatuan dan kesatuan dalam bingkai demokrasi bukan keterkungkungan. Sejak lengsernya rezim Orde Baru, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum PBNU 1984-1999 serta Presiden ke-4 RI telah membuka keran demokrasi yang dicita-citakannya sejak dulu. Cita-cita inilah yang sesungguhnya membuat Soeharto selalu kontra dengan Gus Dur yang terus menggelorakan kebebasan bepikir dan berpendapat sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945.


KH A. Wahid Hasyim, salah satu perumus naskah Pancasila mengatakan bahwa di dalam Pancasila terdapat simpul nilai yang harus dipahami oleh seluruh bangsa Indonesia yaitu nilai spiritualitas. Ialah nilai-nilai agama yang sangat universal. Sebagai seorang Muslim dan ulama terkemuka, KH Wahid Hasyim tentu merepresentasikan Islam di dalam perumusan tersebut. Oleh sebab itu, Islam sebagai agama universal termanifestasikan di antaranya dalam Pancasila.


Jadi, Islam sebagai agama mayoritas pun harus berbaur dengan keberagaman budaya dan agama lain untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Tanpa harus memarjinalkan kelompok-kelompok lain. Itulah salah satu perjuangan Gus Dur sampai akhir hayatnya. Meskipun terkadang banyak yang tidak memahami pola pemikirannya sehingga beliau acapkali dibilang nyleneh bahkan kafir oleh kelompok Islam garis keras.


Ya, Islam garis keras, radikalisme yang mengatasnamakan agama, serta konflik antar keyakinan yang konon menimbulkan perpecahan dan tragedi yang memilukan seperti di Poso sebagai bentuk imperialisme yang memotivasi Penulis untuk menguarai dan mensinergikan Islam dengan Pancasila. Sehingga keduanya dapat dipahami sebagai konstruksi agama dan ideologi yang damai.


Indonesia sering mengalami tragedi memilukan seperti kasus terorisme yang konon dilakukan oleh orang Islam. Seakan menjustifikasi  bahwa semua orang Islam adalah teroris. Hal itu dipicu oleh berbagai aksi bom bunuh diri di berbagai negara Amerika Serikat dan Eropa yang diklaim dilakukan oleh kelompok al-Qaeda, Jama’ah Islamiyah, dan kelompok Islam radikal lain yang merasa tidak diperlakukan adil oleh orang-orang Yahudi, terutama Amerika Serikat dan Israel.


Sebab ini pula tak jarang warga Muslim di Amerika Serikat atau di Eropa mengalami diskrimanasi dan ketidakadilan. Bentuk kekerasan, perpecahan, dan perang antar saudara yang sering mengatasnamakan Agama pun menggenapi peristiwa-peristiwa memilukan di Amerika Serikat yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan ini.


Bagaimana dengan Indonesia? Seperti apa Pancasila dipraktikkan? Sesungguhnya Pancasila dan Islam sama-sama memuat nilai-nilai yang sangat universal sebagaimana yang telah diungkapkan di atas. Pancasila tidak sedikitpun membeda-bedakan bangsa karena bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam SARA. Sehingga sudah semestinya yang mengaku dirinya Indonesia harus menghargai dan menghormati berbagai macam keyakinan, budaya, dan tradisi dengan tujuan mewujudkan perdamaian, persatuan, dan kesatuan bangsa.


Diblantika perpolitikan Indonesia sering terjadi konflik misal masalah gugat-menggugat pasca pemilihan umum oleh pihak yang kalah. Atau penyusunan dan pengesahan UU atau kebijakan di parlemen (baca: DPR) yang berkaitan dengan permasalahan rakyat yang pada akhirnya diputuskan melalui mekanisme voting juga. Ironisnya, sepertinya mekanisme tersebut selalu menimbulkan perpecahan, perdebatan, konflik berkepanjangan. Jika sudah seperti ini, mana paradigma musyawarah mufakat yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945? Hal ini hanya menunjukkan bahwa mereka hanya gila kekuasaan semata.


Pada dasarnya, Islam juga sangat menentang segala bentuk kekerasan. Karena hal tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai agama Islam yang sangat mulia. Islam juga mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan manusia yang terdiri dari bangsa-bangsa dan suku-suku agar saling mengenal dan mengasihi satu sama lain. Jadi jika ada orang Islam melakukan bom bunuh diri yang sungguh mencelakakan orang/bangsa lain ia sesungguhnya bukan orang Islam yang menganut nilai-nilai kebaikan yang universal.


Islam juga mengajarkan berkompetisi dengan sehat, saling nasihat-menasihati dalam kebaikan, bermusyawarah dengan baik, dan membantah sesuatu dengan baik pula. Sehingga dengan nilai-nilai ini akan tercipta persatuan dan perdamaian dalam menghadapi setiap perbedaan pendapat. Berdasarkan hal-hal itu, semestinya bangsa Indonesia yang sebagian besar Islam harus kembali ke khittah Pancasila. Wallahu a’lam bisshawab.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online