Fragmen

Potret Pengajar Mambaul Ulum Surakarta Tahun 1939

Sel, 5 Mei 2020 | 07:15 WIB

Potret Pengajar Mambaul Ulum Surakarta Tahun 1939

Para pengajar foto bareng dengan latar belakang gedung Madrasah Mambaul Ulum Surakarta. (Foto: istimewa)

Pada tahun 1939, Keraton Surakarta memperingati hari jadinya yang ke-200. Momen ini dirayakan dengan cukup meriah. Para tamu undangan dari berbagai kalangan, tak terkecuali para guru di Madrasah Mambaul Ulum Surakarta turut diundang dalam sebuah acara bertajuk Pangenget enget Karaton Surakarta Hadiningrat 200 tahun.

Momen istimewa tersebut kemudian diabadikan para guru Mambaul Ulum dengan sesi foto bersama, di depan bangunan yang tertempel sebuah plakat bertuliskan huruf Arab: Madrasah Mambaul Ulum. Foto ini penulis temukan di Museum Mambaul Ulum, yang terletak di sebelah selatan Masjid Agung Surakarta dan buku Kauman: Religi, Tradisi dan Seni (Ma’mun, dkk, 2007) yang merupakan sumbangan koleksi foto dari keluarga Zamachsari Pradjawiyata.

Dari penelusuran yang dilakukan penulis, didapatkan beberapa keterangan mengenai foto tersebut. Pertama, mengenai nama dan keterangan para guru, yang di dalam foto terlihat ada yang berpose dengan berdiri sembari bersikap ngapurancang inggil (tangan kanan memegang tangan kiri di bawah pusar) yang menunjukkan kewibawaan.
 
Ada pula tiga guru yang duduk di atas kursi, yang secara simbolis, mereka yang duduk ini biasanya adalah yang dihormati memiliki ilmu dan kedudukan tinggi atau bisa juga yang dituakan.

Untuk guru-guru yang tengah berdiri, penulis hanya menemukan satu keterangan, yakni yang berdiri paling kanan. Ia adalah Kiai Ali Darokah Yatnawiyata. Kiai Ali Darokah merupakan putra dari KH Abu ‘Amar, pengasuh Pesantren Jamsaren Surakarta.
 
Gelar yang disandang yakni Yatna, yang dapat diartikan sebagai seorang pendidik yang memiliki karakter pemikir progresif. Sedangkan wiyata merupakan gelar yang disematkan untuk pendidik di Mambaul Ulum.

Adapun tiga guru yang duduk, dari sebelah kanan yaitu KHR Ma’ruf Mangunwiyata, KHR Abdul Djalil Pradjawiyata, dan KH Dimyati Candrawiyata. Ketiganya merupakan sosok yang dihormati, tidak hanya di lingkup Mambaul Ulum, namun juga di wilayah Surakarta dan lainnya.

Kiai Abdul Djalil atau Kiai Jamsari yang duduk di posisi tengah, merupakan kepala sekolah Mambaul Ulum di masa itu. Sebelumnya, posisi kepala sekolah pernah diemban oleh Kiai Bagus Ngarfah, Kiai Idris, dan Kiai Djauhar. Sedangkan Kiai Dimyati, merupakan wakil kepala sekolah sejak masa Kiai Idris (wafat 1923), sekaligus kepala sekolah untuk kelas sore.
 
Sedangkan Kiai Ma’ruf merupakan pengasuh Pesantren Jenengan, yang kelak juga dikenal sebagai seorang Mursyid Thariqah Syadziliyyah dan Rais Syuriyah PCNU Surakarta.

Hal kedua, terkait dengan foto ini yakni cara berpakaian guru Mambaul Ulum ini persis dengan apa yang digambarkan salah satu murid Mambaul Ulum, KH Saifuddin Zuhri, dalam buku Berangkat Dari Pesantren (hlm 153): “Guru-guru Mambaul Ulum adalah para kiai yang berpakaian resmi Jawa, yaitu berkain batik panjang, baju jas dengan leher tinggi (jas tutup) berwarna putih, dan meski sudah haji, tetap memakai blangkon ala Solo. Pada hari-hari tertentu, di antara kiai senior mengenakan kuluk (kopiah kebesaran ala keraton).”

Seragam guru Mambaul Ulum tersebut, menurut Saifuddin, berbeda dengan para kiai yang ia jumpai di kampung halamannya, Banyumas, yang mengenakan sorban atau kopiah putih dengan menyampirkan sorbannya pada bahu, dan memakai sarung palekat. Baju ala guru Mambaul Ulum itu, bila di luar Solo, biasa dipakai oleh penghulu (pemimpin kantor agama Islam).

Ketiga, bangunan yang ada di dalam foto tersebut, hingga kini masih terawat dengan baik dan tentu saja mengalami sedikit perubahan. Pada saat penulis berkunjung ke sana, beberapa bulan lalu, sebagian frame tempat foto di depan bangunan tersebut kini tertutup pagar yang cukup tinggi, sehingga hanya tersisa pemandangan atas bangunan dengan plakat Mambaul Ulum bersanding dengan plakat bertuliskan Asrama Putri Boarding School Mambaul Ulum MAN 2 Surakarta.

Didirikan Tahun 1905

Menurut catatan sejarah, Madrasah Mambaul Ulum yang didirikan pada tanggal 23 Juli 1905, dengan tujuan untuk mencetak calon pengulu yang handal untuk memegang jabatan pada Surambi Masjid dan Raad (pengadilan) Agama dalam birokrasi kerajaan Jawa maupun birokrasi pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, juga untuk mengganti ulama pengelola masjid dan langgar di Kasunanan yang telah meninggal.

Mambaul Ulum yang berarti “sumber ilmu pengetahuan”, terbagi dalam tiga tingkat kelas; tingkat dasar atau ibtidaiyah (Kelas I sampai kelas V), tingkat menengah atau tsanawiyah (Kelas VI sampai VII), dan menengah atas atau kelas aliyah (kelas IX sampai XI). Madrasah Mambaul Ulum, sehari dibuka dua kali, pada waktu pagi (pukul 07.00-12.00) dan waktu siang (14.00-16.30).

Kurikulum di Mambaul Ulum, tidak hanya mempelajari bidang ilmu agama, tetapi juga pengetahuan umum. Namun demikian, untuk mendapatkan ijazah, seorang siswa diwajibkan untuk menyelesaikan beberapa mata pelajaran, dan puncaknya ia akan mendapat pengakuan berupa syahadah (ijazah).

Sebagai contoh, salah satu alumni Mambaul Ulum yang kelak menjadi tokoh NU dan Bupati Tuban, KH R. Mustain, ketika hendak mencapai pangkat sebagai seorang pengulu, ia mesti menyelesaikan beberapa pelajaran di Madrasah Mambaul Ulum, antara lain ia harus menguasai beberapa kitab, yaitu Fathul Mu’in, Shahih Bukhari, Tafsir Jalalain, Minhajul Abidin, dan lain sebagainya.

Keberadaan Mambaul Ulum ini, pada perkembangannya tidak hanya menjadi sekadar pencetak para penghulu atau pengelola masjid, akan tetapi lebih dari itu mampu melahirkan tokoh-tokoh besar muslim Indonesia, yang tidak kalah dengan mereka yang mengenyam pendidikan umum (sekuler).
 
Para tokoh tersebut antara lain: KH R. Moh. Adnan, KH Badruddin Honggowongso, KH Saifuddin Zuhri, KH Munawir Syadzali, KH Imam Zarkasyi, Prof Baiquni, KH Moh. Sowam, dan lain sebagainya.

Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Fathoni Ahmad