Fragmen

Saat KH Ghazalie Masroeri Kisahkan Ulama Ahli Falak dari Jombang

Kam, 20 Februari 2020 | 05:30 WIB

Saat KH Ghazalie Masroeri Kisahkan Ulama Ahli Falak dari Jombang

KH Ahmad Ghazalie Masroeri sedang memaparkan hasil hisab dan rukyat. (Foto: NU Online)

Ketekunannya di bidang ilmu falak menjadikan KH Ahmad Ghazalie Masroeri sebagai tokoh sentral dalam pengambilan keputusan hisab dan rukyat setiap bulan hijriah tiba. Kepakaran dan konsistensinya membuahkan berbagai macam pegembangan metode hisab dan rukyat.
 
Kiai Ghazalie Masroeri memimpin Lembaga Falakiyah PBNU yang dulu bernama Lajnah Falakiyah sejak 1999 hingga akhir hayatnya pada 19 Februari 2020 di usia 81 tahun. Beliau lahir di Purwodadi, 21 April 1939.

Salah satu kelebihan Kiai Ghazalie ialah meskipun tidak bisa melihat, beliau mampu memprediksi posisi hilal sampai beberapa tahun ke depan. Di masa mudanya, sebelum dikenal sebagai ahli hisab dan rukyat, KH Ghazalie Masroeri bertahun tahun nyantri pada almarhum Kiai Turaichan, ahli falak kelas dunia asal dari Kudus, Jawa Tengah.

Namun, meskipun kepakarannya telah diakui sejumlah pihak termasuk pemerintah, Kiai Ghazalie Masroeri tidak pernah menganggap hasil hisab dan rukyatnya sebagai sebuah keputusan, melainkan kabar (ikhbar). Karena wilayah keputusan ada di tangan pemerintah yang sah.

Terkait hal itu, Kiai Ghazalie pernah menceritakan kepada Abdul Mun’im DZ (baca Fragmen Sejarah NU, 2017: 117) tentang KH Hasyim Asy’ari yang menegur menantunya KH Maksum Ali, ahli falak. Kiai Hasyim Asy’ari melakukan teguran terhadap menantunya perihal hasil hisab dan rukyat yang diumumkan tanpa melalui pemerintah.

KH Maksum Ali Jombang, seorang ahli falak yang juga menulis kitab tentang falak. Sudah menjadi kelaziman bagi ahli falak untuk melakukan puasa dan lebaran sesuai hasil hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (observasi/melihat hilal)-nya sendiri.

Pada suatu hari sesuai dengan hasil perhitungannya, Kiai Maksum Ali memutuskan untuk ber-Idul Fitri sendiri yang ditandai dengan menabuh bedug bertalu-talu. Mendengar keriuhan itu, sang mertua, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari kaget.

Setelah tahu duduk perkaranya, ia menegur, “Hei, bagaimana kau ini, belum saatnya lebaran kok bedug-an duluan?”

Mendapat teguran dari mertuanya itu Kiai Maksum segera menjawab dengan tawadhu (hormat). “Inggih (iya) romo kiai, saya melaksanakan Idul Fitri sesuai dengan hasil hisab yang saya yakini ketepatannya.”

“Soal keyakinan ya keyakinan, itu boleh dilaksanakan. Tetapi jangan woro-woro (diumumkan dalam bentuk tabuh bedug) mengajak tetangga segala,” jelas Kiai Hasyim Asy’ari.

“Tetapi bukankah pengetahuan ini harus diikhbarkan (dikabarkan), Romo?” tanya Kiai Maksum.

“Soal keyakinan itu hanya bisa dipakai untuk diri sendiri, dan tabuh bedug itu artinya sudah mengajak dan mengumumkan kepada masyarakat, itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan kepastian Idul Fitri itu haknya pemerintah yang sah,” tutur Kiai Hasyim.

“Inggih Romo,” jawab Kiai Maksum setelah menyadari kekhilafannya.

Abdul Mun’im (2017) mencatat, pendirian Kiai Hasyim Asy’ari itu kemudian ditetapkan secara formal dalam Munas Alim Ulama NU di Cipanas, Bogor tahun 1954, bahwa hak itsbat diserahkan kepada pemerintah sebagai waliyul amri.
 
Sedangkan para ulama NU hanya membantu melakukan ikhbar, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat setelah diumumkan oleh pemerintah. Ini sebagai konsekuensi bagi NU dalam bernegara, yakni menyerahkan sebagian kewenangannya pada pemerintah yang sah.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi