Fragmen

Sosok Kiai Asy’ari, Ayahanda Hadhratussyekh Hasyim Asy’ari

Sen, 17 Februari 2020 | 07:00 WIB

Sosok Kiai Asy’ari, Ayahanda Hadhratussyekh Hasyim Asy’ari

Sebidang tanah di daerah Nggedang yang dulu menjadi lokasi rumah Kiai Asy'ari dan Nyai Halimah. Lokasi yang juga menjadi tempat kelahiran Muhammad Hasyim Asy'ari. (Foto: Dok. Perpustakaan PBNU)

Sosok Asy’ari sejak muda sudah terlihat menonjol secara akhlak dan intelektual. Hal itu terlihat ketika dirinya menjadi santri di Pondok Nggedang. Pondok asuhan Kiai Usman ini terletak sekitar dua kilometer di sebelah utara Kota Jombang, dekat Tambakberas.

Pesantren Nggedang didirikan oleh Kiai Abdus Salam atau dikenal dengan nama Kiai Shihah. Kiai asal Lasem, Rembang, ini bersama istrinya, Muslimah, membuka hutan di Gedang untuk mendirikan permukiman dan pesantren pada tahun 1825.

Solichin Salam dalam KH Hasjim Asj’ari: Ulama Besar Indonesia (1963) mencatat, Kiai Usman adalah salah seorang kiai terkenal dan besar pengaruhnya. Dalam perkawinannya dengan putri Lajjinah, putera-puteranya seringkali meninggal pada masa kanak-kanak.

Namun, pada 1268 H atau bertepatan dengan tahun 1851, Kiai Usman dianugerahi Allah SWT seorang puteri yang diberi nama putri Winih, yang berarti benih. Tapi kemudian puteri Winih diubah namanya menjadi Halimah. Sedangkan Halimah mempunyai 4 saudara yaitu Muhammad, Leler, Fadil, dan Ny Arif.

Masih dalam catatan Solichin Salam, satu tempo Kiai Usman mempunyai seorang santri bernama Asy’ari, berasal dari Kota Demak. Saat itu sudah agak lama pemuda Asy’ari menjadi santri di Pondok Nggedang. Kecerdasan dan kecakapan Asy’ari membuat Kiai Usman tertarik kepadanya untuk dijadikan menantu.

Akhirnya, pemuda Asy’ari dinikahkan oleh Kiai Usman dengan puterinya, Halimah. Dari pernikahannya itu, pasangan Asy’ari dan Halimah dianugerahi 11 orang anak yaitu, Nafi’ah, Ahmad Saleh, Muhammad Hasyim, Radiah Hasan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan. (Solichin Salam, 1963: 19)

Putera Kiai Asy’ari yang ketiga, yaitu Muhammad Hasyim dilahirkan di Pondok Nggedang pada tanggal 24 Dzulqa’dah 12 bertepatan 14 Februari 1871. Muhammad Hasyim kemudian lebih dikenal dengan nama KH Hasyim Asy’ari.

Lima tahun setelah Muhammad Hasyim lahir, atau pada tahun 1876, Kiai Asy’ari yang lahir pada tahun 1830 ini mendirikan Pondok Pesantren di Desa Keras, Kecamatan Diwek, Jombang. Lewat pesantren yang didirikannya itu, Kiai Asy’ari dikenal sebagai perintis tradisi keilmuan pesantren di daerah Jombang.

Adapun Pesantren Nggedang berkembang menjadi Pesantren Tambakberas, Jombang, di bawah kepengasuhan saudara misan (sepupu) Kiai Asy’ari yaitu Kiai Said, yang kemudian menurunkan Kiai Chasbullah, ayahanda KH Abdul Wahab Chasbullah.

Menurut salah seorang cucu KH Hasyim Asy’ari, KH M. Ishom Hadziq, ayah Kiai Asy’ari bernama Abdul Wahid bin Abdul Halim. Abdul Wahid merupakan salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang menggunakan nama “Pangeran Gareng” di bawah Panglima Sentot Alibasyah Prawirodirdjo.

Nasab Kiai Asy’ari merujuk hingga ke Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir alias Sultan Pajang. Jaka Tingkir bergelar Sultan Adiwijaya. Ia adalah nenek kedelapan dari KH Hasyim Asy’ari. Jaka Tingkir masih keturunan Raja Brawijaya VI yang dikenal dengan nama Lembupeteng. Ia juga dipanggil dengan sapaan Mas Karebet.

Menurut catatan Ahmad Baso (2016), Kiai Asy’ari wafat sekitar tahun 1890 dan dimakamkan di lingkungan Pesantren Keras. Ketika KH Hasyim Asy’ari, menikah di tahun 1892 dengan Nyai Nafisah, putri KH Ya’qub bin Hamdani, Pengasuh Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, Kiai Asy’ari sudah tiada. Pesantren Keras kemudian dikelola masing-masing oleh putera beliau, KH Saleh, dan menantu beliau, KH Alwi, yang dikenal ahli bela diri dan kanuragan.

Di tahun 1930-an, Pesantren Keras kemudian diasuh oleh KH Basuni, lalu KH Salahuddin (di masa itu tidak ada lagi yang mondok di tahun 1970-an), kemudian KH Ahmad Labib di tahun 1990-an. Meski tidak sebesar Pesantren Tebuireng, Pesantren Keras mulai membuka madrasah dan berganti nama menjadi Pesantren Al-Asy’ari Keras.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi