Fragmen

Saat Ulama Memompa Semangat Juang Laskar Santri Hadapi Penjajah

Kam, 10 November 2022 | 13:20 WIB

Saat Ulama Memompa Semangat Juang Laskar Santri Hadapi Penjajah

Para santri yang dilatih militer oleh Jepang menjelma menjadi pasukan yang menghalau Sekutu sekaligus Jepang untuk mempertahankan kemerdekaan. (Foto: ilustrasi/dok istimewa)

Laskar santri terbentuk atas gagasan KH Muhammad Hasyim Asy’ari saat Jepang (Nippon) menghendaki para pemuda Indonesia, termasuk santri untuk menjadi tentara guna melawan pasukan Sekutu. Namun, Kiai Hasyim Asy’ari menyampaikan kepada Jepang bahwa pasukan santri tetap akan berjuang di tanah airnya sendiri, tidak berangkat ke Jepang. Semenjak itulah, para santri yang dilatih militer oleh Jepang menjelma menjadi pasukan yang menghalau Sekutu sekaligus Jepang untuk mempertahankan kemerdekaan.


KH Hasyim Asy’ari membentuk menyebut pasukan santri yang dibentuknya bernama Laskar Hizbullah. Laskar Hizbullah ini dibentuk pada November 1943 beberapa minggu setelah pembentukan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Meski kedua badan kelaskaran itu berdiri sendiri, tetapi secara teknik militer berada di satu tangan seorang perwira intelijen Nippon, Kapten Yanagawa.


Sebagai seorang kiai, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari cukup mumpuni dalam strategi perang. Di saat sejumlah orang memandang bahwa keputusan Kiai Hasyim merupakan simbol ketundukan kepada Jepang karena menyetujui para santri dilatih militer oleh Jepang. Namun di balik semua itu, guru para kiai di tanah Jawa ini ingin mempersiapkan para pemuda secara militer melawan agresi penjajah ke depannya.


Betul saja apa yang ada di dalam pikiran Kiai Hasyim, Jepang menyerah kepada sekutu. Namun Indonesia menghadapi agresi Belanda II. Di saat itulah para pemuda Indonesia melalui Laskar Hizbullah, dan lain-lain sudah siap menghadapi perang dengan tentara sekutu dengan bekal gemblengan 'gratis' oleh tentara Jepang.


KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) menjelaskan bahwa saat itu angkatan pertama latihan Hizbullah di daerah Cibarusah, dekat Cibinong, Bogor awal tahun 1944 diikuti oleh 150 pemuda. Mereka datang dari Karesidenan di seluruh Jawa dan Madura yang masing-masing mengirim 5 orang pemuda. 


Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa itu dikeola oleh Markas Tertinggi Hizbullah yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Sebagai sebuah strategi perang, latihan ini perlu dilakukan oleh sebanyak-banyaknya pemuda. Namun, disayangkan latihan Hizbullah ini diselenggarakan secara minim sekali.


Kondisi ini menjadi perhatian serius KH Wahid Hasyim sebagai penanggung jawab politik dalam Laskar Hizbullah. "Kita dikejar waktu. Nippon sebenarnya mencurigai tujuan Hizbullah. Yang menyetujui Hizbullah kan Cuma kita," ucap Kiai Wahid mengemukakan kegelisahannya.


Tetapi, Kiai Wahid Hasyim tidak mau ketinggalan kereta. Walau bagaimanapun, perjuangan kemerdekaan harus dipersiapkan, baik kekuatan militernya, di samping kekuatan politiknya. Kekuatan politik yang dimaksud ialah politik kenegaraan yang berkepentingan memerdekakan Indonesia dari kungkungan penjajah. Langkah ini membutuhkan ongkos yang tidak sedikit.


Kegundahan Kiai Wahid tersebut mendapat siraman petunjuk dari KH Abdul Wahab Chasbullah. Kiai Wahab menilai, para kiai dan pemimpin laskar jangan hanya melihat dari ukuran lahir. Karena menurutnya, belum tentu jika disediakan biaya besar akan berdampak pada hasil yang maksimal. 


"Biar menderita asal penggemblengan jiwanya hebat seperti pemuda-pemuda Ashabul Kahfi, hasil akhir yang maksimal bisa tercapai juga," tutur Kiai Wahab memberi masukan.


Selain KH Wahab Chasbullah, KH Subchi Parakan yang dikenal sebagai kiai bambu runcing juga aktif memompa dan menggerakkan semangat juang laskar santri. Di lingkungan masyarakat Parakan dan ulama Temanggung, Kiai Subchi dikenal sebagai sosok ulama ‘alim, wara’, tawadhu, dermawan, dan memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Sikap terakhirnya itu yang membuat dirinya mempunyai semangat berlipat ketika membantu laskar santri yang tergabung dalam Hizbullah dan Sabilillah.


Bukan hanya laskar santri, saat itu Panglima Divisi V Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kolonel Soedirman juga ramai-ramai mendatangi Kiai Subchi di Parakan guna meminta doa dan wejangan (nasihat). Wejangan Kiai Subchi tidak hanya membangkitkan nasionalisme, tetapi juga kesadaran akan kewajiban membela agama dari penjajah.


Wejangan Kiai Subchi yang hingga kini masih terlintas di benak bekas tentara Hizbullah dan Sabilillah maupun TKR dan laskar-laskar lainnya ialah:


"Luruskan niat untuk mempertahankan agama, bangsa, dan tanah air. Ingat selalu kepada Allah swt. Jangan menyeleweng dari tujuan, apalagi berbuat maksiat. Dan kuatkan persatuan kita. Jika hendak kembali pulang, beramai-ramailah membaca syahadat" (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU,1985).


Jiwa nasionalisme Kiai Subchi tertanam sebagai komitmen bersama terhadap agama dan bangsa. Komitmen kebangsaan ini juga dilakukan oleh para kiai di berbagai daerah yang mempunyai tanggung jawab sosial membebaskan bangsa Indonesia dari ketidakperikemanusiaan penjajah.


Komitmen ini terus membuncah sehingga ketika proklamasi kemerdekaan RI, Kiai Subchi bersama para ulama dan kaum muda Temanggung membentuk Laskar Barisan Muslimin Temanggung (BMT) pada 27 November 1945. Tujuan utama BMT ini adalah untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.


Fathoni Ahmad, Redaktur Pelaksana NU Online