Fragmen

Sambutan Baik Bung Karno untuk Sarbumusi

Jum, 1 Mei 2020 | 04:30 WIB

Sambutan Baik Bung Karno untuk Sarbumusi

Ilustrasi Sarbumusi. (NU Online)

Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) merupakan salah satu badan otonom (banom) yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama (NU). Sesuai dengan namanya yang menyematkan kata buruh, organisasi ini memang sejak awal bertujuan untuk memperjuangkan kaum buruh, yang meskipun memiliki peran yang tak kecil bagi negara, kerap kali menjadi kaum yang tertindas, baik ditinjau dari persoalan kesejahteraan dan lain sebagainya.

Dalam catatan sejarah, Sarbumusi didirikan pada 27 September 1955 di Pabrik Gula Tulangan Sidoarjo, Jawa Timur. Tahun berdirinya Sarbumusi tersebut, berdekatan dengan Pemilu 1955, yang diselenggarakan 29 September 1955, di mana NU yang kala itu masih berstatus sebagai partai politik ikut menjadi kontestan dan berhasil meraih posisi 3 besar.

Dengan jumlah massa yang cukup besar, kaum buruh dan petani, tentu menjadi ceruk suara yang menjanjikan. Selain NU, hampir tiap partai politik, kala itu, memiliki sayap gerakan ataupun afiliasi dengan serikat buruh, di antaranya KBM (afiliasi politik dengan PNI), Gasbiindo (Masyumi), SOBSI (PKI), dan lain-lain.

Usai Pemilu 1955 dan Pembentukan DPR-GR tahun 1960, sejumlah tokoh dari Sarbumusi ikut terpilih menjadi anggota DPR RI, antara lain Murtadji Bisri, Sutarno Djatikusumo, Moch. Hartono, dan Muhamad Djazim. Kemudian pada Pemilu 1971, ada Umar Tadjuddin, Sutanto Martoprasono, H. A. Latief, dan KH Masykur.

Naiknya sejumlah tokoh Sarbumusi menjadi anggota dewan, menjadikan perjuangan NU untuk kaum buruh menjadi lebih kuat dan memiliki pengaruh lebih luas, tidak hanya di tanah air tetapi juga di kancah internasional.

Dalam sebuah acara Rapat Akbar Kongres ke-2 yang diselenggarakan Sarbumusi pada 9 Maret 1965 di gedung Istora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Presiden Soekarno menegaskan peran penting Sarbumusi: “Sarbumusi adalah satu unsur penting, alat penting dalam Revolusi Indonesia ini, satu tenaga besar untuk menjalankan Revolusi Indonesia ini!”

Kemudian, lanjut Presiden Soekarno, Sarbumusi mestinya juga memiliki cita-cita yang sama dengan ajaran agama Islam, yakni untuk senantiasa bantu-membantu satu sama lain, tidak ada penghisapan oleh suatu bangsa kepada bangsa lain.

“Oleh karena itu, maka saya berkata bahwa di dalam mengejar cita-cita ini, di dalam mendobrakkan cita-cita ini, Sarbumusi adalah satu unsur yang amat besar artinya. Apa sebab? Oleh karena Sarbumusi pun berdiri di atas moraliteit yang tinggi.”

Dalam menjaga cita-cita tersebut, Sarbumusi tetap konsisten meskipun pada akhirnya harus berhadapan langsung dengan penguasa. Di masa Orde Baru misalnya, Sarbumusi ikut menentang penggabungan berbagai serikat buruh ke dalam satu wadah.
 
Penggabungan serikat buruh dalam satu wadah tunggal di masa itu, akan menjadikan gerakan buruh dapat dikendalikan oleh pemerintah dan kepentingan modal. Sarbumusi juga mengkritik adanya kebijakan PHK massal dan beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru, yang banyak merugikan kaum buruh.

Setelah rezim Orde Baru tumbang dan era reformasi bergulir, hingga kini Sarbumusi tetap menjadi garda terdepan NU dalam memperjuangkan kaum buruh.
 
Berbagai program yang dilakukan DPPK (Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi) Sarbumusi di bawah kepemimpinan Syaiful Bahri Anshori (2016-2021), antara lain pembelaan dan advokasi perselisihan hubungan industrial, pendampingan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dan advokasi serta mendorong regulasi ketenagakerjaan yang memberikan keadilan dan kesejahteraan buruh.

Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Fathoni Ahmad