Fragmen

Sejarah Halal Bihalal Sebelum Dipopulerkan KH Wahab Chasbullah

Kam, 19 Mei 2022 | 15:30 WIB

Sejarah Halal Bihalal Sebelum Dipopulerkan KH Wahab Chasbullah

KH Abdul Wahab Chasbullah sedang duduk santai membaca sebuah dokumen. (Foto: dok. Perpustakaan PBNU)

Selain di zaman KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) yang berhasil menyatukan para tokoh dan elit politik melalui gagasan acara halal bihalal, istilah dan praktik halal bihalal juga pernah ada sebelum zaman kemerdekaan. Namun tidak terlalu populer setelah itu. Kemudian tradisi halal bihalal dipopulerkan kembali oleh KH Wahab Chasbullah pada 1948.


Pegiat Komunitas Pegon, Ayung Notonegoro mengungkapkan bahwa istilah halal bihalal terdapat dalam manuskrip Babad Cirebon. Hal itu ia ungkapkan berawal dari Guru Besar Filologi UIN Syarif Haidayatullah, Prof Oman Fathurahman yang seandainya ada ingin membedah manuskrip tentang halal bihalal.


Di dalam Babad Cirebon CS 114/ PNRI halaman 73 terdapat keterangan yang ditulis dengan huruf Arab pegon berbunyi, "Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan sami anglampah HALAL BAHALAL sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang Kamuning”.

 

 

Ketua Umum Jayanusa, Idham Cholid (Tempo, 2021) menjelaskan bahwa tradisi halal bihalal sebenarnya sudah berkembang sangat lama, jauh sebelum negara ini berdiri. Beberapa referensi menyebut, sebagaimana dijelaskan Antropolog UIN Sunan Kalijaga Mohammad Soehadha, tradisi ini berakar dari “pisowanan” yang sudah ada di Praja Mangkunegaran Surakarta pada abad ke-18 atau tahun 1700-an.


Kala itu, Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I mengumpulkan para bawahan dan prajurit di balai astaka untuk melakukan “sungkeman” kepada raja dan permaisuri selepas perayaan Idul Fitri. Pisowanan secara bersama ini dianggap lebih efektif dan efisien dibanding dilakukan secara perorangan.


Keterangan istilah halal bihalal juga terdapat pada majalah Soeara Moehammadijah edisi nomor 5 tahun 1924 yang terbit sekitar April 1924. Majalah edisi tersebut dipublikasikan menjelang Idul Fitri tahun 1924 yang saat itu jatuh pada tanggal 6 Mei 1924. Majalah Soeara Moehammadijah pada 1 Syawal 1344 H atau pada tahun 1926 menulis “Alal Bahalal”.


Muhammad Yuanda Zara (Historia, 2020) menerangkan bahwa istilah halal bihalal juga dipopulerkan oleh seorang penjual martabak asal India di Taman Sriwedari Solo, sekitar tahun 1935-1936, khususnya pada malam keramaian di bulan Ramadhan. Seorang yang membantu dalam penjualan martabak tersebut mempromosikan dagangannya dengan istilah, “martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal”. Kata-kata tersebut kemudian diikuti oleh para pelanggannya.


Halal bihalal dipopulerkan KH Wahab Chasbullah

Di era revolusi pada tahun 1948 tepatnya di pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya dengan harapan dapat mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat kala itu. 


Kemudian Kiai Wahab Chasbullah memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahim. Sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim. Lalu Bung Karno menjawab, "silaturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain".


"Itu gampang,” kata Kiai Wahab. "Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai Wahab Chasbullah seperti riwayat yang diceritakan KH Masdar Farid Mas’udi.


Dari saran Kiai Wahab Chasbullah itulah kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi nama halal bihalal. Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah istilah halal bihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi umat Islam Indonesia pasca-lebaran hingga kini. (Fathoni)