Fragmen

Sejarah Hari Santri

Jum, 22 Oktober 2021 | 01:00 WIB

Sejarah Hari Santri

Santri Indonesia. (Foto: dok. NU Online)

Setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri. Hal ini berawal dari usulan masyarakat pesantren sebagai momentum untuk mengingat, mengenang, dan meneladani kaum santri yang telah berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia.


Usulan tersebut pada mulanya menuai polemik, banyak yang setuju, ada pula yang menolaknya. Beragam alasan penolakan muncul, mulai dari kekhawatiran polarisasi, hingga ketakutan akan adanya perpecahan karena ketiadaan pengakuan bagi selain santri.


Namun, Presiden Joko Widodo pada akhirnya memutuskan untuk menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Hal itu dilakukan melalui penandatanganan Keputusan Presiden (Keppres)  Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri pada 15 Oktober 2015 silam.


Keputusan presiden tersebut didasari tiga pertimbangan. Pertama, ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mengisi kemerdekaan.


Kedua, keputusan tersebut diambil untuk mengenang, meneladani, dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa, perlu ditetapkan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober.


Ketiga, tanggal 22 Oktober tersebut diperingati merujuk pada ditetapkannya seruan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah


Hal ini sejalan dengan tiga alasan pentingnya penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri yang disampaikan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofar Rozin. Ia menjelaskan bahwa tanggal tersebut mengingatkan pada Resolusi Jihad yang dicetuskan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, sebuah ketetapan yang menggerakkan massa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.


Pertama, Hari Santri Nasional pada 22 Oktober, menjadi ingatan sejarah tentang Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari. Ini peristiwa penting yang menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial, yang puncaknya pada 10 Nopember 1945,” ungkap Gus Rozien sebagaimana dilansir NU Online pada 19 September 2015.


Kedua, lanjutnya, jaringan santri telah terbukti konsisten menjaga perdamaian dan keseimbangan. Perjuangan para kiai jelas menjadi catatan sejarah yang strategis, bahkan sejak kesepakatan tentang darul islam (wilayah Islam) pada Muktamar Ke-11 NU di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.


“Sepuluh tahun berdirinya NU dan sembilan tahun sebelum kemerdekaan, kiai-santri sudah sadar pentingnya konsep negara yang memberi ruang bagi berbagai macam kelompok agar dapat hidup bersama. Ini konsep yang luar biasa,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Kajen, Pati, Jawa Tengah itu.


Berikutnya, ia menjelaskan bahwa pentingnya 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri karena kelompok santri dan kiai-kiai terbukti mengawal kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


“Para kiai dan santri selaluh berada di garda depan untuk mengawal NKRI, memperjuangan Pancasila. Pada Muktamar NU di Situbondo, 1984, jelas sekali tentang rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Bahwa NKRI sebagai bentuk final, harga mati yang tidak bisa dikompromikan,” jelas Gus Rozin.


Dengan demikian, Gus Rozin menambahkan, Hari Santri bukan lagi sebagai usulan ataupun permintaan dari kelompok pesantren. “Ini wujud dari hak negara dan pemimpin bangsa, memberikan penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kiai dan santri. Kontribusi pesantren kepada negara ini, sudah tidak terhitung lagi,” tegas Rozin.


Pada mulanya, Hari Santri diusulkan oleh ratusan santri Pondok Pesantren Babussalam, Desa Banjarejo, Malang, Jawa Timur, Jumat, (27/6/2014), saat menerima kunjungan Joko Widodo sebagai calon presiden. Pada kesempatan tersebut, Jokowi menandatangani komitmennya untuk menjadikan tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri. Ia pun menegaskan akan memperjuangkannya.


Namun, pada perkembangannya, PBNU mengusulkan agar 22 Oktober yang ditetapkan sebagai Hari Santri, bukan 1 Muharram. Hal itu dilatari peristiwa sejarah Resolusi Jihad. Di usia yang baru menginjak dua bulan merdeka, Indonesia kembali diserang oleh Sekutu yang hendak merebut kemerdekaan dari tangan bangsa Indonesia. Demi mempertahankannya, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad. Dikutip dari Fatwa dan Resolusi Jihad karya KH Ng Agus Sunyoto, fatwa tersebut berisi tiga poin penting, yakni sebagai berikut.


1. Hukum memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin, meskipun bagi orang fakir,


2. Hukum orang yang meninggal dalam peperangan melawan musuh (NICA) serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid, dan


3. Hukum untuk orang yang memecah persatuan kita sekarang ini, wajib dibunuh.


Syakir NF, Jurnalis NU Online