Internasional

Bangladesh Izinkan Anak Rohingya Bersekolah

Rab, 5 Februari 2020 | 12:30 WIB

Bangladesh Izinkan Anak Rohingya Bersekolah

Anak-anak pengungsi Rohingya sedang belajar di sekolah sementara di kamp pengungsian di Cox's Bazar, Bangladesh. (Foto: Reuters/Mohammad Ponir Hossain)

Dhaka, NU Online
Bangladesh mengizinkan anak-anak para pengungsi Rohingya untuk menerima pendidikan formal. Aktivis dan kelompok hak asasi manusia menyambut baik keputusan tersebut dan menilainya sebagai langkah positif.

Sampai saat ini, hanya sepertiga dari pengungsi anak Rohingya—yang melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi di wilayah Bangladesh- yang dapat mengakses pendidikan dasar melalui pusat pendidikan sementara yang diselenggarakan lembaga internasional.

Rencananya, seperti dilasir laman Aljazeera, Kamis (30/1), program percontohan sekolah formal untuk anak Rohingya akan dimulai pada April mendatang. Program yang akan dijalankan UNICEF dan pemerintah Bangladesh itu akan menerima pendaftaran 10 ribu anak laki-laki dan perempuan Rohingya—hingga usianya 14 tahun- di kelas 6 hingga 9. Mereka akan diajar dengan kurikulum sekolah Myanmar dan akan mendapatkan pelatihan keterampilan.

Kelompok hak asasi manusia sudah lama menyampanyekan pendidikan berkualitas untuk anak-anak pengungsi Rohingya. Mereka mengapresiasi keputusan pemerintah Bangladesh tersebut. Menurutnya, dengan bersekolah anak-anak pengungsi Rohingya bisa mengejar cita-cita dan masa depan mereka.

“Mereka sudah kehilangan dua tahun akademik dan jangan kehilangan waktu lagi di luar ruang kelas,” kata juru bicara Amnesty Internasional untuk wilayah Asia Selatan.
UNICEF melalui jaringan-jaringannya telah menyediakan pendidikan dasar bagi 150 ribu anak-anak pengungsi Rohingya di kamp pengungsia di tenggara Bangladesh. Sebagaimana diketahui, lebih sejuta etnis Rohingya mengungsi di wilayah ini, di mana setengahnya adalah anak-anak.

Dilaporkan, lebih dari 730.000 warga minoritas Muslim Rohingya mekarikan diri dari negara bagian Rakhine ketika militer Myanmar melancarkan operasi militer pada Agustus 2017 lalu. Mereka kemudian mengungsi di kamp-kamp di sepanjang wilayah pinggiran Bangladesh. 

“Kami saksikan sendiri banyak orang dibunuh. Yang bisa kami lakukan adalah lari menyelamatkan diri ketika rumah-rumah kami dibakar," ungkap Mohamed Zobayer, 19 tahun, kepada kantor berita Reuters.

Atas hal itu, salah satu negara Afrika Barat, Gambia, melaporkan Myanmar ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag dengan tuduhan telah melakukan genosida terhadap etnis Rohingya. Pada Kamis (23/1) lalu, Mahkamah Internasional mengeluarkan putusan yang intinya memerintah Myanmar untuk mengambil langkah cepat untuk melindungi komunitas Muslim Rohingya dari penganiayaan dan genosida, serta mengamankan bukti-bukti dugaan kejahatan terhadap mereka.
 
Namun, dua hari setelah putusan tersebut, dua perempuan meninggal dan tujuh lainnya luka-luka ketika sebuah desa milik warga Rohingya di Myanmar ditembaki dengan senjata artileri. Militer Myanmar menampik mereka berada di balik insiden itu.

Pewarta: Muchlishon
Editor: Kendi Setiawan