Internasional

Atasi Krisis Rohingya, KAICIID Dorong Agamawan-Pemerintah Gelar Dialog Intensif

Rab, 18 Desember 2019 | 07:30 WIB

Atasi Krisis Rohingya, KAICIID Dorong Agamawan-Pemerintah Gelar Dialog Intensif

Para pengungsi Rohingya di kam-kamp pengungsian di d Distrik Cox's Bazar, Bangladesh. (Foto: Reuters)

Jakarta, NU Online
Selama beberapa dekade terakhir, ratusan ribu orang dari etnis Rohingya mengungsi ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia. Mereka terpaksa meninggalkan tanah yang telah didiaminya selama puluhan bahkan ratusan tahun tersebut. 

Masalah yang dialami etnis Rohingya begitu pelik. Mereka mukim di wilayah Myanmar, tetapi Pemerintah Myanmar tidak mau mengakuinya sebagai warga negara.

Melihat persoalan yang tidak kunjung terselesaikan itu, Sekretaris Jenderal King Abdullah bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID), H E Faisal bin Abdulrahman bin Muammar menyatakan perlunya dialog yang intensif antar kelompok masyarakat dunia. Tokoh-tokoh agama Islam dan Budha disebutnya harus bekerja sama dengan pemerintah untuk memfasilitasi dialog.

"Ketika kita terkoneksi dengan pembuat kebijakan dan tokoh-tokoh agama Muslim-Budha bisa bekerja sama maka akan mendapatkan jalan yang terbaik," kata Faisal di sela-sela acara Forum Dialog Regional yang diselenggarakan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu (18/12).

Faisal mendorong mayoritas masyarakat yang selama ini memilih diam (silent majority) agar aktif bersuara menangkal ekstremisme dan menyuarakan perdamaian. "Kita harus menciptakan kehidupan yang lebih damai agar virus-virus ekstremisme tidak berkembang," ucapnya.

Berdasarkan perkembangan terakhir yang diikuti NU Online, Myanmar digugat ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag -- yang sidangnya dimulai hari Selasa (10/12) hingga Kamis (12/12) -- oleh negara kecil Afrika barat, Gambia. 

Myanmar dituduh melakukan genosida terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine dimana mereka tinggal. Para pengungsi Rohingya yang sejak beberapa tahun terakhir tinggal di kamp-kamp pengungsian di Cox's Bazar, Bangladesh, mendesak Mahkamah Internasional menyatakan Myanmar bertanggungjawab atas terjadinya "genosida".

Dilaporkan, lebih dari 730.000 warga minoritas Muslim Rohingya menyelamatkan diri ketika militer Myanmar melancarkan operasi militer pada 2017 lalu. "Kami saksikan sendiri banyak orang dibunuh. Yang bisa kami lakukan adalah lari menyelamatkan diri ketika rumah-rumah kami dibakar," ungkap Mohamed Zobayer, 19 tahun, kepada kantor berita Reuters.

Pewarta: Husni Sahal
Editor: Muchlishon