Internasional TRAGEDI ROHINGYA

Gambia, Negara Kecil Penggugat Myanmar di Mahkamah Internasional

Kam, 12 Desember 2019 | 10:00 WIB

Gambia, Negara Kecil Penggugat Myanmar di Mahkamah Internasional

Abubacarr M Tambadou, Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman Gambia memimpin tuntutan terhadap Myanmar di Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida terhadap Muslim Rohingya di Rakhine. (Foto: Reuters)

Den Haag, NU Online
Minoritas Rohingya telah lama mengeluhkan terjadinya persekusi terhadap mereka. Tahun 2017 militer Myanmar, Tatmadaw, menjalankan operasi besar-besaran di Rakhine.

Menurut tuduhan yang diajukan oleh Gambia kepada Mahkamah Internasional atau International Court Justice (ICJ), militer Myanmar telah melakukan "operasi pembersihan yang luas dan sistematis" terhadap Rohingya, mulai Oktober 2016 dan berlanjut hingga Agustus 2017.

Gambia merupakan negara kecil di Afrika bagian barat. Negara yang mayoritas penduduknya Muslim tersebut mendapatkan dukungan dari 57 anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan tim pengacara internasional.

Gambia dan Myanmar menandatangani Konvensi Genosida 1948, yang mengharuskan negara-negara ini mencegah dan menghukum kejahatan genosida.

Gambia mendesak mahkamah untuk mengeluarkan sebuah keputusan guna memastikan Myanmar segera "menghentikan kekejaman dan genosida terhadap warga Rohingya-nya sendiri."

Abubacarr M Tambadou, Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman Gambia memimpin tuntutan. Dia sebelumnya bekerja di International Criminal Court (ICC)Ā untuk Rwanda guna menyelidiki genosida pada tahun 1994.

Tambadou mengatakan kepada BBC bahwa dirinya terdorong untuk bertindak setelah mendengar sejumlah cerita pembunuhan kejam, perkosaan dan penyiksaan dari korban selamat saat dirinya mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh.

Soal Tragedi Muslim Rohingya

Rohingya adalah kelompok minoritas etnik Muslim di Myanmar yang memiliki bahasa dan kebudayaan sendiri. Sebagian besar tinggal di negara bagian Rakhine, yang berbatasan dengan Bangladesh.

Meskipun telah bergenerasi tinggal di Myanmar, mereka tidak diakui sebagai warga negara atau tidak dimasukkan ke dalam sensus.

Mereka seringkali dipandang, termasuk oleh para pejabat pemerintah, sebagai imigran gelap atau penyelundup dari Bangladesh.

Tragedi terhadap Muslim Rohingya berawal saat 27 Agustus 2017, milisi Rohingya menyerang puluhan pos polisi yang menyebabkan tewasnya sejumlah petugas.

Pihak keamanan Myanmar kemudian melakukan operasi pembersihan dengan membakar desa. Warga sipil pun banyak menjadi korban.

Ratusan ribu orang melarikan diri ke Bangladesh, bergabung dengan banyak warga Rohingya lain di kamp yang telah lebih dulu pergi.

Usaha mengembalikan mereka sampai sejauh ini mengalami kegagalan - para pengungsi menekankan tidak adanya pertanggungjawaban atas kekejaman yang dilakukan dan ketidakpastian nasib mereka.

Pada bulan Oktober PBB memperingatkan bahwa terdapat "risiko serius genosida akan terjadi kembali" terhadap warga masih berada di Myanmar.

Permulaan tahun ini, BBC menemukan bukti bahwa sebuah desa Rohingya dihancurkan dan pemerintah kemudian mendirikan sejumlah bangunan di daerah itu.

Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon