Internasional

China Klaim Etnis Uighur Dipaksa Memeluk Islam

Rab, 24 Juli 2019 | 05:30 WIB

China Klaim Etnis Uighur Dipaksa Memeluk Islam

Ilustrasi Muslim Uighur di Xinjiang, China (Greg Baker/AFP)

Beijing, NU Online
Pemerintah China mengklaim, etnis Uighur di Xinjiang semula tidak memeluk Islam namun kemudian dipaksa menjadi Muslim akibat dari penaklukan di masa kekaisaran. China menyatakan etnis Uighur adalah bagian integral China yang tak terpisahkan selama ribuan tahun. Klaim ini dinilai sebagai pembenaran atas perlakuan China terhadap minoritas Muslim Uighur di Xinjiang beberapa tahun terakhir.

Pemerintah China menyampaikan klaimnya itu dalam sebuah dokumen ‘buku putih’ yang dikeluarkan pada Ahad (21/7) kemarin. Dalam buku putih itu, pemerintah China menjelaskan, adalah salah menganggap etnis Uighur sebagai keturunan Turki. Menurutnya, minoritas Muslim Uighur di Xinjiang telah dijadikan alat politik untuk kepentingan kelompok pro Islam dan pro Turki. 

Disebutkan, Islam menyebar ke Xinjiang setelah terjadi penaklukan oleh ‘dinasti Arab’ dan kemudian ‘etnis Uighur di Xinjiang mengalami perbudakan di tangan orang Turki.’ China juga menyebut, Islam bukanlah satu-satunya agama atau sistem kepercayaan asli etnis Uighur.

“Perpindahan agama ke Islam bukanlah pilihan sukarela yang dilakukan oleh warga, tetapi hasil dari perang agama dan pemaksaan oleh kelas yang berkuasa,” tulis dokumen itu, dikutip dari laman abc.net.au. Dalam laporan itu, pemerintah China menegaskan tetap menghormati ‘hak komunitas Muslim atas agama mereka.’

Kelompok ekstremis di Xinjiang dianggap telah memutarbalikkan fakta sejarah untuk memecah belah China. Menurut China, etnis Uighur sudah menjadi bagian dari China sejak Dinasi Han pada abad ketiga Masehi. 

"Kekuatan musuh di dalam dan di luar China, khususnya kelompok separatis, ekstremis agama dan teroris, telah mencoba memecah belah China dan membelahnya dengan cara memutarbalikkan sejarah dan beberapa fakta," demikian isi buku putih itu.
 
Bantahan atas klaim China

Laporan China itu dibantah beberapa pihak. Direktur Human Rights Watch Australia, Elaine Pearson, menilai, laporan China tersebut merupakan distorsi fakta yang aneh dan mencolok. "Saya tak berpikir siapapun di luar China, yang mengikuti apa yang terjadi di Xinjiang, akan tertipu oleh laporan ini," katanya.

Sementara pakar Uighur dan etnis minoritas China pada Universitas La Trobe, James Leibold, menyatakan, klaim China itu tidak benar. Ia menyebut, laporan itu penuh dengan klaim sepihak China dan merupakan bagian dari perang informasi yang sedang berlangsung di Negeri Tirai Bambu.
 
"Ada dua republik independen-semu yang diciptakan pada awal abad ke-20 yang secara eksplisit mengambil nama Turkistan Timur," kata Leibold.
 
Diketahui, para sejarawan percaya bahwa sejak abad pertengahan bagian dari wilayah Xinjiang disebut sebagai Turkistan. Sementara menurut versi China, wilayah itu tidak pernah menjadi bagian dari Turkistan Timur karena sudah lama menjadi bagian integral dari wilayah China.

Perlakuan China atas minoritas Muslim Uighur membuat negara-negara di dunia ‘terbelah’. Ada yang mengecam dan ada juga yang membela. Sebanyak 22 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) –termasuk diantaranya Jerman, Prancis, Inggris, Jepang, Selandia Baru, Kanada, dan Australia- mengecam perlakuan China terhadap minoritas Muslim Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang. Mereka mendesak China agar menghentikan penahanan massal Muslim Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang. 

Kecaman itu disampaikan melalui surat yang dikirim kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM), Michelle Bachelet, dan Presiden Dewan HAM PBB, Coly Seck, pada Senin, 8 Juli lalu. 

Beberapa hari berselang, Para Duta Besar untuk PBB dari 37 negara merespons balik surat tersebut. Mereka juga merilis surat yang intinya membela perlakuan China terhadap Muslim Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang. Bahkan, mereka memuji China dalam hal penegakan hak asasi manusia (HAM). 

“Kami mencatat bahwa terorisme, separatisme, dan ekstremisme agama telah menyebabkan kerusakan besar pada orang-orang dari semua kelompok etnis di Xinjiang," demikian isi surat tersebut, sebagaimana dikutip dari laman AFP, Sabtu (13/7).

Diantara negara yang menandatangi surat pembelaan terhadap perlakuan China atas Muslim Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang adalah Rusia, Arab Saudi, Korea Utara, Aljazair, dan Nigeria. Kemudian Zimbabwe, Filipina, Myanmar, dan lain-lainnya.
 
PBB dan beberapa negara Barat menuduh China telah melakukan penahanan sewenang-wenang terhadap jutaan minoritas Muslim Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang. Mereka dilaporkan menghadapi pembatasan harian terhadap praktik keagamaan dan ‘indoktrinasi politik paksa.’

Otoritas China berulang kali menolak tuduhan tersebut. China menjelaskan, orang-orang tersebut sedang menjalani ‘pendidikan ulang’ dan pendidikan vokasi setelah terpapar paham ekstremisme. (Red: Muchlishon)