Opini

Mendesain Ulang Mata Pelajaran Agama

Sel, 23 Juli 2019 | 21:00 WIB

Mendesain Ulang Mata Pelajaran Agama

Suasana masa pengenalan sekolah.

Ada ucapan Muhammad Abduh yang terkenal dan sering dijadikan kutipan. “Saya pergi ke Barat, saya melihat Islam di sana tapi tidak melihat Muslim. Saya pergi ke negara-negara Arab, saya melihat Muslim di sana tapi tidak melihat Islam”.
 
Ucapan ini adalah kritik dari sang inspirator pembaharuan Islam dunia asal Mesir terhadap kenyataan yang ada dalam kehidupan umat Islam yang justru tidak sesuai dengan syariat Islam. Sementara mereka yang di Eropa, yang notabene non-muslim, justru menjalankan apa yang diperintahkan oleh Islam.
 
Tentunya, hal dimaksud bukanlah dalam perkara ibadah (ritual) yang berisi tata cara beribadah kepada Allah atau seputar hablum minallah. Tapi muamalat, yaitu perkara duniawiah terkait hubungan manusia dengan manusia: hablum minannas.
 
Dalam hal ini, Islam mengajarkan hak dan kewajiban yang harus dijalankan untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia. Jika dilanggar, sang pelaku akan menerima konsekuensinya dan bisa berperkara di hadapan penegak hukum.
 
Di Barat pelanggaran hukum atau kriminalitas sangatlah rendah. Saking rendahnya sampai-sampai beberapa penjara di Belanda ditutup sehinggga memicu protes para sipir dan karyawan yang terancam menganggur karenanya.
 
Kesesuaian kehidupan Barat dengan syariat Islam juga dibuktikan oleh hasil penelitian Hossein Askari. Penelitian yang disponsori Islamicity Foundation yang berbasis di Amerika itu  mengungkap rangking negara yang paling islami di dunia. New Zealand, negara non-muslim, memperoleh skor tertinggi setidaknya dalam hal: menjauhi sistem keuangan ribawi, hak pendidikan, perlindungan hak milik dan hak binatang, anti korupsi dan pemberantasan kemiskinan.
 
Negara Muslim dengan skor tertinggi adalah Uni Emirat Arab, rangking 45. Sementara Amerika menduduki peringkat 23. Negara dengan skor terendah adalah Yaman, negara yang mana Islam sebagai agama resmi negara.
 
Pujian Abduh terhadap kehidupan Barat mengandung pesan ajakan agar ‘meniru’ Barat dalam menata kehidupan. Hal senada juga diucapkan oleh Prabowo Subianto, capres RI 2109. Dia  mengatakan dalam salah satu videonya, bahwa dirinya telah menemukan contoh sukses dalam mengelola negara dari Barat. Oleh karena itu, solusi bagi perbaikan kondisi yang ada adalah Westernisasi agar tercapai adil-makmur seperti yang telah mereka capai.
 
Dalam kaitan dengan isu hangat belakangan ini tentang penghapusan mata pelajaran agama di sekolah Indonesia, perlu menengok apa yang ada di Barat tentang hal tersebut. Hasil selancar internet menemukan bahwa kebanyakan sekolah menengah di Barat mengajarkan mata pelajaran (mapel) agama meski tidak wajib. Ada yang diprogramkan oleh pemerintah seperti di Finlandia yang mewajibkan mapel agama bagi siswa sekolah menengah pertama dan atas, dan ada yang dipasrahkan kepada institusi agama. Guru agama ada yang didanai oleh negara ada yang tidak.
 
Prancis termasuk yang tidak mendanai. Bagi yang belum dewasa agama ditentukan oleh orang tua. Sedangkan yang telah dewasa, di atas 17 tahun, menentukan sendiri. Sebagai pengganti, untuk mereka yang ateis, mapel agama diganti mapel etika atau filsafat. Sekolah menengah jurusan IPS, mapel agama diajarkan dalam bentuk religious studies atau kajian lintas agama dan bukan religious education yang fokus pembelajaran doktrin agama yang dipeluknya. Walhasil, Barat tidak mewajibkan tapi juga tidak melarangnya. Mereka banyak mempercayakan pembelajaran kepada organisasi keagamaan untuk menyuplai tenaga pengajar atau untuk ekstrakurikuler di luar sekolah. 
 
Jika Barat tidak mewajibkan mapel agama tapi berhasil membangun peradaban yang islami, apakah Indonesia juga sebaiknya demikian: Membebaskan siswa untuk mengikuti atau tidak mengikuti mapel agama? Jawabannya tidak bisa sama. Hal ini lantaran bahwa Indonesia berdasarkan Pancasila dengan ketuhanan sebagai sila pertama. Artinya ada perbedaan bobot pandangan terhadap agama antara Barat dan Indonesia. Barat yang sekular memposisikan agama secara periferal, sementara Indonesia memposisikannya sentral. Dengan demikian mapel agama sulit dihapus dari kurikulum sekolah negeri. 
 
Sejauh ini mapel agama telah ada tapi tidak berbuah seperti yang diharapkan. Tawuran antar pelajar dan kenakalan remaja kerap terjadi. Sementara Barat yang mengekstrakurikuler mapel agama justru membuahkan sesuatu yang diinginkan agama. 
 
Mengapa hal ini terjadi? Dalam teori kesalehan (tentang menjadi orang baik), terdapat kesalehan relijius (religiouspiety) dan kesalehan sosial (socialpiety). Kesalehan relijius lebih pada perkara-perkara mahdlah atau perkara ritual yang Allah telah menetapkan tata caranya secara baku. Sementara kesalihan sosial lebih pada perkara-perkara hubungan kemasyarakatan yang tidak statis (ghairu mahdlah) yang terbuka peluang nalar untuk terlibat di situ. Sejauh hal itu tidak bertentangan dengan prinsip syariat, maka ia boleh. 
 
Ketidakwajiban pelajaran agama di Barat, menjadikan anak didik mengembangkan daya nalar (kognisi) dan olah rasa (afeksi) dalam menyikapi urusan antar manusia (hablum minannas).Tanpa harus diajarkan, mereka melalui interaksi sesama menjadi paham apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Keharusan menghargai orang lain dan larangan merugikan sesama (la dlarara wala dlirar) menjadi terasah di lapangan. Sikap anti terhadap aniaya (kezaliman) apalagi kekerasan terbentuk melalui pengalaman pergaulan tanpa harus diajarkan dalam mapel agama.
 
Kesalihan sosial tercipta dan terbentuk dalam diri anak didik secara alamiah dan berkesesuaian dengan nilai-nilai moral yang berlaku universal. Hal ini tidak berseberangan dengan ajaran Islam sebab kaidah dalam muamalat adalah boleh kecuali dilarang. Artinya akal ‘dikedepankan’sebelum dalil melarangnya. Biarlah pemangku pendidikan dan anak didik mengembangkan sendiri melalui nalar dan olah rasa. Mapel agama di Indonesia hendaknya mendorong hal ini dan tidak mendikte secara tekstualis. Mapel agama sebaiknya berisi materi tasawuf yang mendukung berkembangnya olah rasa secara mandiri.
 
Bagaimana dengan kesalehan relijius? Dalam hal ini telah ada banyak wadah lembaga keagamaan dan komunitas baik yang berbasis rumah ibadat seperti masjid dan gereja. Juga lembaga pendidikan agama seperti Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), madrasah diniyah, kelompok pengajian dan majelis taklim. Selain lembaga keluarga yang merupakan madrasah atau sekolah pertama penanaman nilai agama dan pembiasaan ibadah. Bagi siswa yang berasal dari kalangan pemeluk agama yang awam tentang tatacara ibadah, mapel agama bisa mengisinya. 
 
Walhasil, mapel agama hendaknya mendorong terciptanya kesalihan sosial yang mendukung terciptanya harmoni dan eratnya kohesi sosial. Bukan sebaliknya, keberadaannya menimbulkan menguatnya perbedaan identitas sehingga berdampak tidak baik bagi pergaulan lintas agama. Suatu hal yang menjadi kekhawatiran Barat sedari awal terkait mapel agama. Di mana keberadaannya dikhawatirkan menimbulkan pemaksaan atas siswa untuk mengikuti mapel agama atau paham tertentu yang diadakan sekolah, sementara dia sendiri  tidak berminat. Bias-bias itulah yang lebih mengkhawatirkan Barat. Yaitu adanya kooptasi pemahaman keagamaan oleh sang pengajar dan hilangnya kebebasan beragama yang dilindungi oleh negara.
 
Achmad Murtafi Haris, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.