Internasional

Fiqih Kontekstual untuk Kaum Milenial

Sel, 20 Agustus 2019 | 09:30 WIB

Fiqih Kontekstual untuk Kaum Milenial

Guru Besar Ushul Fikih IAIN Jember, Kiai MN Harisudin berfoto bersama usai seminar

Canberra, NU Online

Fiqih pada dasarnya sangat dinamis. Karena itu, fiqih paling cepat merespon perkembangan zaman, termasuk masyarakat milenial.

 

Demikian disampaikan Guru Besar Ushul Fiqih IAIN Jember, Kiai MN Harisudin dalam acara seminar bertema Fikih Kontekstual di Era Milenial di musholla kampus Australian National University Canberra, Australia, Ahad, (18/8).

 

Menurutnya, perubahan dalam fiqih itu merespons laju IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang berkembang sangat cepat.

 

"Perubahan fatwa hukum, terutama yang berkaitan dengan mu’amalah dan bukan ibadah mahdlah merupakan hal yang wajar. Karena syariat dalam muamalah sifatnya mutammim (penyempurna). Sehingga aturan dibuat global, tidak rigid (kaku) dan selalu kontekstual," jelasnya sebagaimana rilis yang diterima NU Online, Selasa (20/8).

 

Hal tersebut, katanya, berbeda dengan fiqih ibadah yang rigid dan detail karena digunakan untuk sepanjang zaman dan semua tempat. Oleh karenanya, fiqih ibadah tidak bisa diotak-atik. Contohnya, ibadah haji, sejak dulu sampai kapan pun tetap di Makkah, puasa di bulan Ramadhan, shalat lima waktu waktunya juga tetap, dan sebagainya. Namun, perubahan dalam fiqih muamalah itu juga tidak seketika berubah, tapi harus melihat: apakah ada perubahan illat apa tidak.

 

"Dulu di tahun 1930, NU memutuskan bahwa menyalakan mercon di Ramadlan sebagai syiar agama, dianjurkan. Tapi tahun 1999, fatwa hukum berubah menjadi haram karena sudah tidak ada lagi syiar pakai mercon, malah mercon dibuat gede, yang bisa membahayakan dan mematikan manusia", ujarnya.

 

Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut menambahkan, hal-hal yang berkaitan dengan muamalah di era milenial, maka juga melihat apakah syarat perubahan itu terjadi.

 

"Jadi kita cek, apakah syarat perubahan hukum tersebut telah terjadi. Nah, kalau kita lihat era sekarang, ada go food, go send, gojek, go car, dan sebagainya, maka selama syarat rukun terpenuhi, hukumnya sah", pungkas Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara tersebut.

 

Acara yang diselenggarakan PCINU Australia-New Zealand bekerja sama dengan Pengajian Khataman pimpinan Ustadz Katiman tersebut dihadiri puluhan mahasiswa dan warga Indonesia di Canberra.

 

Pewarta : Aryudi AR