Internasional Konferensi Internasional PCINU Belanda

Krisis Peradaban Umat Islam: Dominasi Fiqih Berbasis Halal-Haram

Kam, 26 Agustus 2021 | 00:00 WIB

Krisis Peradaban Umat Islam:  Dominasi Fiqih Berbasis Halal-Haram

Tangkap layar video konferensi internasional PCINU Belanda.

Jakarta, NU Online

Konferensi internasional yang digelar oleh PCINU Belanda tahun 2021 telah resmi dibuka pada Senin (23/8/2021). Konferensi internasional dua tahunan ini menapaki gelaran yang ketiga.

 

Sebelumnya, konferensi pertama digelar di kota Amsterdam bekerja sama dengan Vrije University (2017) mempromosikan tema Islam Nusantara ke Ranah Global. Pada perhelatan kedua berlangsung  di kota Nijmegen bekerja sama dengan Radboud University (2019) mengusung tema Al Wasatiyya Islam. Sementara di tahun ini tema yang diangkat adalah Reimagining Religion in the Time of Crisis.

 

Konferensi yang digelar secara daring melalui platform zoom meeting ini dipandu oleh Pengurus PCINU Belanda yang juga kandidat doktor dari Universitas Leiden, Ayu Swaningru. Selain pengurus NU setempat, konferensi ini juga diikuti oleh berbagai perwakilan mahasiswa NU yang ada di luar maupun di dalam negeri. Tak hanya itu, para intelektual dan akademisi turut menyaksikan melalui siaran langsung maupun siaran tunda pada beberapa kanal media NU di Indonesia.

 

Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda, Mayerfas membuka konferensi yang diikuti oleh lebih dari 30 presenter dari beragam latar belakang dan disiplin ilmu. Mayerfas menyebutkan bahwa prakarsa yang dilakukan oleh PCINU Belanda ini merupakan upaya penting yang dilakukan oleh organisasi Muslim terbesar di Indonesia dalam berkontribusi mengampanyekan moderasi beragama. 

 

Intelektual Muslim Indonesia, Ulil Abshar Abdalla yang menjadi pembicara kunci dalam paparannya menggarisbawahi tema krisis kaitannya dengan sejarah peradaban Islam. Menurutnya, pijakan utama yang harus dipahami adalah kenyataan bahwa peradaban Islam juga mengalami apa yang disebut dengan continuous history of Islam, yaitu sejak tahun pertama peristiwa Hijrah Nabi Muhammad hingga menjelang berkuasanya kekuatan kolonial Eropa ke Muslim land.

 

Menurut Gus Ulil, demikian ia disapa, pada periode tersebut syariah menjadi badan hukum pengatur tertinggi yang memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. 

 

"Selama kurang lebih 13 abad, kaum Muslim, terutama di jazirah Arab dan Afrika Utara secara homogen menggunakan Syariah Islam sebagai komponen utama dalam tata kelola berkeluarga dan bermasyarakat," ujar dia.

 

Perubahan mendasar yang secara bertahap menggeser tradisi homogen tersebut ditandai dengan datangnya Napoleon Bonaparte ke Mesir pada tanggal 1 Juli 1798. Inilah momentum awal di mana Islam mengalami krisis, terutama dengan dikenalkannya ide-ide baru yang berasal dari khazanah struktur dan sistem politik serta tata kelola masyarakat di Eropa.

 

Momentum krisis kedua, lanjutnya, adalah perubahan dari religious authority ke legal authority yang menandai berkembangnya pengaruh new legal system yang awalnya dikenal dengan the Napoleon Code. Krisis ini terus berlanjut hingga hari ini yang ditandai dengan terus-menerusnya muncul gerakan penegakan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan. 

 

Gus Ulil mengungkapkan, umat Islam seluruh dunia hari ini dihadapkan pada krisis otoritas dan pertanyaan paling mendasar: “Who is authorized or has an authoritative voice to speak about Islam and on behalf of Muslims?”  Dengan kata lain: “Who represents Muslim today?” (Siapa yang mewakili Muslim hari ini?) sangat sulit ditemukan jawaban konseptual, legal, maupun faktualnya.

 

Penting dicatat, kelompok Islam paling aktif dan ‘autoritatif’ secara online di dunia maya dari seluruh dunia adalah gerakan Salafi. Secara de facto, jika kita berselancar di internet untuk bertanya tentang Islam, jangan kaget jika merekalah yang memiliki jawaban paling lengkap dalam seluruh bahasa dari seluruh pertanyaan yang diajukan. Artinya, inilah krisis umat Islam paling nyata hari ini.     

 

Krisis ketiga menurut Gus Ulil adalah “the exclusion of philosophy and theology in Islamic education system” (Meninggalkan filsafat dan teologi dalam sistem pendidikan Islam). Karena ini, umat Muslim menghadapi apa yang ia sebut sebagai “the scarcity of basic intellectual tradition” (kelangkaan tradisi intelektual dasar), terutama dengan masifnya kecenderungan umat Muslim di seluruh dunia yang hanya memilih tradisi intelektual tertentu berdasarkan warisan masa lalu, dan pada saat yang sama mengeksklusi tradisi-tradisi intelektual lain, terutama yang berasal dari Barat.

 

"Tradisi filosofis dan teologis Islam yang teramat kaya dan masyhur di masa lalu namun hari ini terdistorsi oleh, misalnya, dominasi fiqih Islam yang hanya berbasis halal-haram, harus dihidupkan kembali dan terus ditumbuhkan untuk generasi milenial. Dan konferensi internasional PCINU Belanda ini, bisa menjadi oasenya," pungkasnya.

 

Editor: Kendi Setiawan