Internasional

Organisasi HAM Israel Sebut Pemerintah Israel Rezim Apartheid

Rab, 27 Januari 2021 | 01:30 WIB

Organisasi HAM Israel Sebut Pemerintah Israel Rezim Apartheid

Permukiman Yahudi Israel di Tepi Barat Ma'ale Efrayim di Lembah Jordan. (Foto: AP Photo)

Jakarta, NU Online

Sebuah organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) terkemuka yang berbasis di Yerusalem, B'Tselem, menyebut bahwa Pemerintah Israel adalah rezim apartheid. B'Tselem melaporkan, hak warga Palestina di Tepi Barat lebih sedikit selama di bawah kendali Israel. Kondisi ini kontras dengan orang Yahudi yang hidup di seluruh wilayah Laut Mediterania dan Lembah Sungai Yordania.


B'Tselem mengatakan, warga Palestina hidup di bawah kendali Israel di Tepi Barat yang diduduki, di Gaza yang diblokade, di Yerusalem Timur yang dianeksasi, dan di dalam wilayah Israel sendiri.


"Ini bukanlah demokrasi ditambah pendudukan. Ini adalah sistem apartheid di antara sungai (Yordan) dan laut (Tengah),” kata Direktur Eksekutif LSM Israel B'Tselem, Hagai el-Ad dalam laporannya Selasa lalu seperti dilansir AFP.

 


B'Tselem mengadopsi istilah yang selama ini dianggap tabu itu, dinilai mengindikasikan pergeseran dalam diskursus nasional tentang pendudukan separuh abad terhadap Palestina, ketika harapan atas solusi dua negara semakin meredup.


Peter Beinart, warga Amerika keturunan Yahudi yang dikenal sebagai pengecam keras Israel, pernah menyebabkan kehebohan serupa tahun lalu ketika dia mendukung gagasan pendirian sebuah negara binasional dengan hak yang sama bagi orang Yahudi dan orang Palestina. B'Tselem sendiri tidak mengambil sikap apakah harus ada satu atau dua negara terkait Israel dan Palestina.


Israel selama ini membanggakan diri sebagai negara demokrasi di Timur Tengah, di mana warga Palestina yang mewakili 20 persen populasi menikmati kesetaraan hak. Namun begitu sebagian warga Palestina tetap terdaftar sebagai "penduduk” bukan "warga negara” dengan hak pilih.

 


B'Tselem berdalih, dengan memecah belah dan secara tidak langsung menguasai wilayah Palestina, Israel menutupi realita bahwa sekitar tujuh juta warga Yahudi dan tujuh juta bangsa Palestina hidup di bawah satu sistem dengan ketimpangan yang besar.


"Intinya adalah tidak ada satu titik pun di antara sungai dan laut, di mana warga Palestina menikmati kesetaraan hak dengan warga Yahudi,” kata el-Ad.


Israel merebut Yerusalem Timur, Tepi Barat dan Jalur Gaza dalam perang 1967, kawasan-kawasan yang menampung hampir 5 juta orang Palestina dan yang diinginkan Palestina sebagai bagian dari negara masa depan mereka.


Pencaplokan tersebut melalui sebuah tindakan yang tidak diakui secara internasional dan menganggap seluruh kota itu sebagai ibu kota terpadu. Sebagian besar warga Palestina di Yerusalem Timur dianggap sebagai penduduk Israel, tetapi bukan warga negara dengan hak suara.

 


B'Tselem berpendapat bahwa dengan membagi wilayah dan menggunakan alat kontrol yang berbeda, Israel menutupi kenyataan yang mendasarinya bahwa orang Yahudi dan orang Palestina hidup di bawah satu sistem namun dengan hak-hak yang sangat tidak setara.


Istilah apartheid sebetulnya telah puluhan tahun digunakan para pengecam keras Israel untuk menggambarkan perlakuan Israel terhadap warga Palestina. Istilah itu sendiri merujuk pada segregasi rasial di Afrika Selatan yang diakhiri pada 1994.


“Tidak ada negara di dunia yang lebih jelas dalam kebijakan apartheidnya selain Israel," kata Nabil Shaath, penasihat senior Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

 


“Ini adalah negara yang mendasarkan keputusan-keputusannya pada ras untuk menyita lahan, mengusir penduduk asli, menghancurkan rumah dan membangun permukiman," imbuh dia.


Istilah apartheid diperkenalkan pemerintahan kulit putih Afrika Selatan pasca Perang Dunia II. Sistem tersebut memisahkan kaum kulit putih dengan warga kulit hitam, dan memberlakukan kasta sosial berdasarkan warna kulit.


Mahkamah Kriminal Internasional mendefinisikan apartheid sebagai sebuah "rezim opresi dan dominasi secara sistematik oleh satu kelompok ras.”


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon