Internasional

Pandangan Martin van Bruinessen terhadap Komite Hijaz

Ahad, 19 Februari 2023 | 16:00 WIB

Pandangan Martin van Bruinessen terhadap Komite Hijaz

Martin van Bruinessen saat menerima anugerah 1 Abad NU dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, pada Selasa (31/1/2023) malam. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Berbagai dokumen dan fakta sejarah mengenai Komite Hijaz dipamerkan dalam arena Muktamar Internasional Fiqih Peradaban di Hotel Shangri-La, Surabaya, Jawa Timur pada Ahad-Senin, 5-6 Februari 2023 lalu.


Data-data yang disajikan sangatlah langka sehingga ada kebaruan dalam temuan-temuannya, sekaligus menjawab berbagai pandangan yang bersliweran melalui sejarah lisan.


Martin van Bruinessen, Indonesianis asal Belanda, mengungkapkan bahwa dirinya juga baru melihat dokumen-dokumen yang tersaji pada pameran tersebut.


"Yang pertama, saya lihat beberapa dokumen itu masih baru buat saya," ujarnya saat wawancara dengan KH Jadul Maula, Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang diakses pada Ahad (19/2/2023).


Martin mengaku memiliki gambaran sedikit berbeda tentang sejarah Komite Hijaz dan berdirinya NU. Ia mengira, bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah pada tahun 1926 sudah berusaha dan sempat ke Makkah untuk mengikuti Kongres Khilafah itu.


"Dan baru sekarang (dia mengetahui), bahwa perjalanan itu baru terjadi dua tahun kemudian," kata Antropolog Universitas Utrecht, Belanda itu.


Berdirinya Komite Hijaz sebagai cikal bakal NU itu masih tetap dipertahankan. Sebab itu terjadi sebelum pendirian NU, walaupun perjalanan tersebut tidak terjadi pada tahun 1926.


Selain itu, Martin juga tidak pernah mengira dan memikirkan, bahwa Komite Hijaz merupakan alternatif terhadap Sarekat Islam. Tesis demikian baginya sangat menarik karena mulanya ia berpandangan bahwa Kiai Wahab dan Cokroaminoto sebagai tokoh Sarekat Islam memiliki satu garis pemikiran yang sama.


"Selama ini saya pikir Kiai Wahab dan Cokroaminoto garis pemikirannya kurang lebih sama, ternyata di sana sudah ada satu persimpangan jalan di antara kedua mereka itu," ujarnya.


Karenanya, muncul pertanyaan di benaknya mengenai perbedaan anggota Sarekat Islam dan Nahdlatut Tujjar sebagai embrio NU di masa itu.


"Jadi menarik sekali untuk melihat apakah orang yang menjadi anggota Nahdlatul Tujjar memang berbeda dari anggota Sarekat Islam? Dan berbeda dari segi apa? Ini belum bisa saya pikirkan," ujar Martin bertanya-tanya.


Martin sendiri berpandangan bahwa memang ada pergeseran cukup cepat di dalam tubuh Sarekat Islam pada tahun 1924-1926. Sebelum tahun 1924, Sarekat Islam sangat internasional, sedangkan tahun 1926-1927 sudah menjadi lebih nasionalis. Mereka pada mulanya bagian dari suatu gerakan internasional untuk melindungi atau melestarikan atau menciptakan khilafah. Namun setelah rencana itu gagal, ada beberapa orang Indonesia yang ikut Kongres Pemuda atau Muktamar di Makkah tetapi tidak ada lanjutannya.


"Sarekat Islam sebagai organisasi seperti berpaling dari internasional lebih merilik ke dalam situasi di Indonesia," ujar penulis buku NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru itu.


Lebih lanjut, Martin juga menyampaikan bahwa NU berdiri karena terinspirasi dari perkembangan internasional, terutama berakhirnya khilafah. Namun, ada satu sisi yang lebih penting, yaitu kebijakan Arab Saudi setelah mereka menaklukkan Makkah yang betul-betul membahayakan tradisi keagamaan NU.


"Jadi NU didirikan untuk melindungi dan melestarikan tradisi itu dan itu juga terutama dimuat di sini (Pameran Komite Hijaz). Mereka (utusan Komite Hijaz) minta Raja Saudi untuk membiarkan mazhab, pengajaran mazhab, tidak menghancurkan tempat ziarah, dan membiarkan makam Nabi tetap bisa diakses," terang Martin.


"Tetapi aktivitasnya semakin banyak di Indonesia saja, tidak internasional lagi," lanjut akademisi kelahiran Schoonhoven, Belanda 77 tahun yang lalu itu.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan