Internasional PCINU ANZ

PCINU ANZ Ungkap Terkikisnya Islamofobia di Negeri Kanguru dan Kiwi

Ahad, 14 Maret 2021 | 13:01 WIB

PCINU ANZ Ungkap Terkikisnya Islamofobia di Negeri Kanguru dan Kiwi

Peta wilayah negara Australian dan New Zealand (ANZ). (Foto: Infrastructure Magazine)

Jakarta, NU Online

Sejak insiden terorisme di Masjid An-Nur, Christchurch, Selandia Baru pada 15 Maret 2019 lalu, islamofobia di Negeri Kiwi itu semakin terkikis. Perdana Menteri Jacinda Arden menunjukkan rasa simpatinya dan menarik masyarakat di sana juga turut bersikap yang sama. Bahkan, perempuan di sana mengenakan kerudung dan menjaga shalat Jumat sebagai bentuk penghormatan.


Dampak di Australia sedikit berbeda tapi dalam bidang pengamanan umat muslim menjadi sorotan pemerintah Australia dan negara-negara bagian di negeri Kanguru itu.


Selang satu sampai tiga minggu setelah kejadian, tempat-tempat penyelenggaraan shalat Jumat di Sydney dijaga oleh beberapa aparat kepolisian untuk menjaga keselamatan umat Islam yang sedang beribadah shalat seandainya teroris itu menjalar ke tempat-tempat yang lain.


“Saya kira beberapa tahun terakhir masyarakat umum di Australia dan New Zealand mulai terdidik dan membuka mata bahwa Islamofobia adalah bukti ketidaktahuan atau the ignorant seseorang terhadap perbedaan-perbedaan budaya dan agama yang hidup dan berkembang di lingkungan sekitar mereka,” kata Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand (ANZ) Yusdi Maksum kepada NU Online pada Ahad (14/3).


Karenanya, masalah Nahdliyin di Australia bukanlah Islamofobia di kalangan para penduduk Australia, sebab hampir seluruh warga Nahdliyin tidak mengedepankan atribut agama dalam berdakwah, seperti penampilan fisik yang dianggap lebih Islami.


Pun Nahdliyin tidak menjadi masalah bagi masyarakat ANZ. Pasalnya, warga Nahdliyin telah menerapkan Islam rahmatan lil 'alamin dalam pergaulan setiap hari dengan para penduduk non-muslim Australia.


Nahdliyin, menurutnya, sadar sebagai minoritas dan mendakwahkan Islam kepada non-muslim di Australia tidak cukup dengan menyodorkan Al-Qur'an dan Hadits karena mereka tidak bisa membaca itu. Kalaupun bisa membaca, belum tentu mereka mengetahui artinya. Kalaupun mengetahui artinya, toh mereka belum tentu memahami makna dan kandungannya.


Hal tersebut, jelasnya, sesuai dengan perkataan, They cannot read Quran or Hadis to understand Islam, but they will understand your religion from what you do, mereka tidak dapat membaca Al-Qur’an dan Hadis untuk memahami Islam, melainkan mereka akan memahami agamamu dari apa yang kamu lakukan.


“Jadi, warga Nahdliyin berdakwah melalui perilaku dan akhlakul karimah yang merangkul bukan yang memukul, sifat mengasihi bukan memaki karena action speaks louder than words, tindakan lebih berpengaruh ketimbang kata-kata,” ujar alumnus Pondok Pesantren Wahid Hasyim, Yogyakarta itu.


Polarisasi Politik Indonesia di Australia


Justru, lanjut Yusdi, kendala yang dihadapi umat Islam dari Indonesia di Australia saat ini adalah perpecahan di kalangan Muslim Indonesia akibat kecenderungan polarisasi politik pascapemilu dan pilkada.


Oleh karena itu, Yusdi menegaskan bahwa tugasnya adalah terus dapat mengembangkan PCINU Australia-New Zealand.

 

“Tugas kita bersama adalah menjaga eksistensi NU sampai mereka (santri-santri TPA) dapat mengambil alih tampuk kepengurusan dan kepemimpinan PCINU 20 tahun sampai 30 tahun ke depan,” katanya di hadapan santri-santri TPA Ma'arif NU Sydney yang usianya masih muda belia di bawah 12 tahun pada Sabtu (13/3).


Meski para santri hanya tinggal di Australia selama dua sampai empat tahun sesuai dengan visa dan masa studi orang tuanya, tetapi ia meyakini di antara mereka bakal ada yang Kembali ke Negeri Kanguru itu dengan alasan apapun juga.


“Insyaallah biidznillah, mereka menjadi saksi perjuangan kami untuk meneruskan perjuangan para pendiri NU dan berkhidmat kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari demi tegaknya Islam berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah di seluruh belahan dunia termasuk Australia New Zealand ini,” tegas pria asal Jepara yang telah menjadi Warga Negara Australia itu.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad