Kesehatan

Jamasan Pusaka Berdasarkan Kitab Kimia dan Hayatul Hayawan

Kam, 3 Agustus 2023 | 22:00 WIB

Jamasan Pusaka Berdasarkan Kitab Kimia dan Hayatul Hayawan

Ilustrasi jamasan pusaka. (Foto: www.kebumenkab.go.id)

Jamasan atau mencuci pusaka berupa keris atau senjata dan peninggalan nenek moyang sering dilakukan oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Sebagian kaum muslimin yang lain sering salah paham dan menganggap tradisi ini sebagai sesat bahkan syirik. Sebenarnya bagaimana tinjauan ilmiah dari tradisi jamasan pusaka? Apakah tradisi ini ada kaitannya dengan ilmu para ulama terdahulu yang ada di kitab-kitab klasik?

 

Warisan tradisi dan budaya di Nusantara tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada zamannya. Ada sebagian yang dipengaruhi oleh nilai-nilai iptek dari dunia Islam. Salah satunya adalah teknologi metalurgi dan kimia bahan nabati. Ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut terbawa dalam proses penyebaran Islam dan sering berinteraksi dengan budaya setempat.

 

Metalurgi atau teknologi tentang logam dalam pembuatan senjata sejak lama digunakan oleh umat manusia, tidak terkecuali umat Islam. Sedangkan pemanfaatan bahan kimia alami dalam teknologi cleansing atau pembersihan logam juga telah dikenal di berbagai daerah sejak zaman dahulu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika peninggalan budaya berupa barang logam sering dikaitkan dengan proses pembersihannya yang menggunakan bahan kimia nabati.

 

Terlepas dari berbagai rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam jamasan pusaka, ada dua proses yang hampir sama saat pencucian pusaka berbahan besi dilakukan di berbagai daerah. Salah satunya adalah mencuci dan membersihkan pusaka yang terbuat dari logam dengan jeruk nipis. Proses yang lain adalah melumuri pusaka besi dengan cairan yang dicampur dengan warangan atau arsenik yang bisa dicampur dengan belerang.

 

Salah satu pusaka yang sering dilumuri warangan dalam proses akhir penjamasannya adalah keris. Tujuannya adalah menjaga kualitas logam keris, mempertahankan kilap dan warnanya agar tetap bagus. Hal ini ternyata sesuai dengan ilmu kimia logam yang dikembangkan oleh Izzuddin Aidamur bin Ali bin Aidamur al-Jildaki dalam kitabnya Nihayah al-Thalab.

 

Warangan dapat terdiri dari unsur kimia arsen dan ada yang dicampur dengan belerang atau sulfur. Arsen dan sulfur dapat membersihkan logam tembaga dan yang mirip dengan itu seperti besi dari pengotornya. (al-Jildaki dalam Taslimi, 1954, An Examination of the ‘Nihayat al-Talab’ and the Determination of its Place and Value in the History of Islamic Chemistry, Thesis, University of London: halaman 281-290)

 

Karena keris dapat terbuat dari besi yang bercampur dengan logam lain seperti nikel, titanium, timah, dan bahkan batu meteor maka komponen tersebut menjadi campuran logam. Bahkan di beberapa daerah, dikenal besi impor yang digunakan untuk membuat keris seperti besi Khurasan. Berdasarkan nama Khurasan itu, diyakini besi itu didatangkan dari luar Nusantara.

 

Teknologi penggabungan logam dalam pembuatan keris mirip dengan pembuatan pedang di Damaskus. Kombinasi berbagai logam yang kompak dan cantik dalam keris membuat bentuknya berpola. Kombinasi logam unik dari bahan meteor bahkan mampu membuat keris berpola yang terbentuk dari campuran besi dan unsur lainnya yang dikenal sebagai pamor.

 

Pola unik dan pamor inilah yang membuat keris disebut mirip dengan pedang Damaskus yang terkenal dengan kekuatan logamnya. Karena keris merupakan perpaduan berbagai logam yang dibuat dengan cita rasa seni yang tinggi, maka bentuknya harus dipertahankan dengan perawatan yang baik. Selain menjaga penampilan keris agar tetap baik, perawatan keris juga dimaksudkan agar kombinasi logam yang menyusunnya tetap awet dan tidak rusak.

 

Perawatan logam keris inilah yang dikenal dengan jamasan atau pencucian pusaka setiap tahun. Tidak hanya di bulan Muharram atau Sura, jamasan pusaka bisa disesuaikan dengan adat dan tradisi di masing-masing daerah. Hal itu ditujukan agar keris yang telah dibuat dengan teknik pedang Damaskus tetap bisa dipertahankan sebagai warisan budaya dan seni agar bisa dilihat dari generasi ke generasi berikutnya.

 

Menurut G. B. Gardner (1936), cara tradisional perawatan kimiawi yang digunakan adalah dengan merendam keris dalam wadah berisi garam, belerang dan air beras yang direbus selama tiga atau empat hari. Proses ini menghitamkan tetapi hampir tidak merusak besi pada keris.

 

Proses perawatan kimia secara berurutan membuat pola Damaskus lebih jelas. Ketika pola Damaskus sudah jelas, bilah keris dibersihkan dengan air jeruk nipis. (Gardner, 1936, Keris & Other Malay Weapons 2nd edition, B.L Milne, Ed., Progressive Publishing Compagny, Singapore: halaman 18)

 

Komponen terakhir yang digunakan dalam pencucian terhadap keris adalah air jeruk nipis. Air jeruk nipis diekstraksi sebagai perasan dari buahnya. Jenis jeruk yang biasa digunakan adalah jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yang dikenal sebagai 'limau nipis'. Bila tidak ada, bisa menggunakan jenis jeruk yang lain seperti Citrus medica dan bisa juga menggunakan jeruk purut.

 

Perasan jeruk nipis mengandung asam sitrat dan asam askorbat atau vitamin C dalam konsentrasi tinggi. Selain itu juga tinggi kandungan gula buah alami dan air serta bersifat sebagai antioksidan. Secara tradisional digunakan sebagai bahan pembersih, dan dalam hal pembersihan keris, perasan jeruk bertindak sebagai lapisan antibakteri pada pisau.

 

Selain itu, diklaim bahwa jeruk nipis digunakan secara tradisional untuk mengusir roh jahat. (Arias & Ramon-Luca, 2004, Pharmacological properties of citrus and their ancient and medieval uses in the Mediterranean region. Journal of Ethnopharmacology, vol. 97, issue 1: Halaman 89-95)

 

Penggunaan jeruk untuk mengusir jin ternyata juga disebutkan dalam kitab Hayatul Hayawan. Imam Kamaluddin Ad-Damiri menyatakan:

 

Jin sangat tidak menyukai jeruk (الأترج al-Utruj) (Citrus medica), buah kuning-hijau besar yang merupakan salah satu varietas jeruk pertama yang diperkenalkan ke Eropa dari Timur.” (Ad-Damiri, 2004, Hayatul Hayawan, Maktabah Al-Ashriyah, Beirut, Lebanon: halaman 276)

 

Ad-Damiri menulis bahwa jin tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat jeruk. Dia mengutip contoh dengan kejadian dari seorang imam bernama Abu al-Hasan bin Muhammad al-Khal'i, seorang mufti terkemuka bermazhab Syafi'i (767-820 M) yang juga pendiri madrasah Islam pada masanya.

 

Al-Khal'i dulu bertugas sebagai qadi atau hakim Islam untuk sekelompok jin, meskipun dia adalah manusia. Jin itu ternyata tidak memiliki hakim Islam di komunitas mereka sendiri dan karenanya meminta al-Khal'i untuk memberikan fatwa untuk mereka.

 

Karena Islam pada hakikatnya sama bagi manusia dan jin, maka kejadian ini sangat masuk akal. Jin menjauh dari tempat mufti itu selama seminggu, dan ketika mereka akhirnya kembali kepadanya, Sang Mufti bertanya mengapa mereka menjauh. Jin itu menjawab bahwa ada jeruk di rumahnya, dan mereka tidak akan memasuki rumah di mana buah itu ditemukan.

 

Imam yang menceritakan kisah ini mengatakan bahwa Nabi pernah membuat perbandingan antara orang beriman yang membaca Al-Qur'an dan buah jeruk (Utruj). Karena setan melarikan diri dari hati orang beriman yang membaca Al-Qur'an, maka sama seperti dia melarikan diri dari tempat di mana ada jeruk. Oleh karena itu tepat untuk mengutip perbandingan dengan itu sehingga menjadikan jeruk berbeda dengan buah-buahan lainnya.

 

Apabila pencucian pusaka dianggap sesat dan dikaitkan dengan mengundang atau menuhankan kekuatan ghaib yang ada di dalam keris, maka hal itu kurang tepat. Justru proses pembersihannya bermakna pensucian lahir dan batin dari kotoran yang bersifat material maupun immaterial.

 

Seperti kemungkinan keris yang ditempati oleh jin, maka jeruk nipis dengan ijin Allah akan membersihkan dan menjauhkan jin dari keris tersebut. Selebihnya, bila doa-doa islami yang dipanjatkan selama penjamasan termasuk membaca Surat Al-Fatihah tentu tidaklah syirik.

 

Berdasarkan penjelasan di atas, jamasan pusaka hanyalah tradisi yang dapat dijelaskan secara ilmiah dari aspek iptek dan budaya masa lalu. Selayaknya sebagai kaum muslimin di Nusantara kita memahami bahwa kearifan nenek moyang pada zaman dahulu ada kaitannya dengan ilmu dan peradaban Islam yang dibawa oleh para ulama dalam kitab-kitab klasiknya. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Yuhansyah Nurfauzi, pakar farmasi, pemerhati sejarah kedokteran dan sejarah peradaban Islam.