Pustaka

3 Rekomendasi Novel Perempuan dan Pesantren untuk Temani Ramadhan

Sab, 18 Maret 2023 | 15:30 WIB

3 Rekomendasi Novel Perempuan dan Pesantren untuk Temani Ramadhan

Dari novel-novel tersebut, pembaca akan memperoleh pengetahuan mengenai perjodohan, membangun kesetaraan, hingga peranan sentral perempuan. (Foto: NU Online/Syakir)

Tak lama lagi, kita semua akan menemui bulan Ramadhan 1444 H, bulan yang amat dirindukan kehadirannya. Di bulan itu, kita dapat mendulang pahala sebanyak-banyaknya dengan memperbanyak aktivitas positif dalam menunjang puasa kita selama sebulan.


Di antara amalan positif yang dapat kita lakukan di bulan Ramadhan adalah membaca. Banyak hal yang bisa dan perlu kita baca selama Ramadhan, mulai dengan pengetahuan mengenai puasa itu sendiri, hal-hal lain yang berkaitan dengan keagamaan, catatan untuk menumbuhkan motivasi hidup, hingga bacaan santai seperti novel.


NU Online memberikan tiga rekomendasi novel untuk menemani pembaca selama bulan Ramadhan. Ada tiga novel yang bisa dibaca mengenai perempuan dan dunia pesantren. Dari novel-novel tersebut, pembaca akan memperoleh pengetahuan yang lebih jauh mengenai perjodohan, upaya membangun kesetaraan, hingga peranan sentral perempuan di dalamnya.


1. Hati Suhita

Novel karya Khilma Anis ini berkisah tentang perjodohan di dunia pesantren. Putra kiai tidak berkenan dengan perjodohan itu meskipun tetap dilakukannya demi tidak menyakiti orang tuanya, sedangkan perempuan yang menerima perjodohan itu harus bersabar menahan sakit ketidakterimaan laki-laki yang sah sebagai suaminya.

 

Namun, perempuan yang memiliki latar belakang pesantren yang cukup kuat itu memiliki peranan penting dalam pesantren mertuanya. Ia tidak sekadar tampil sebagai seorang menantu keluarga pesantren, melainkan juga diberikan amanah untuk memimpin madrasah yang dibangun mertuanya.


Akan banyak konflik yang menyertai perjalanan pernikahan keduanya, mulai dari perempuan yang dicintai sang suaminya itu yang kerap muncul hingga pelariannya ke rumah kakeknya. Pembaca akan diombang-ambingkan gelombang konflik yang muncul sampai pada ujung kisah yang membahagiakan.


Novel ini juga sudah dilakukan ekranisasi atau dibuatkan film. Barangkali dalam waktu dekat, film tersebut akan mulai tayang di hadapan pembaca.


2. Dua Barista

Novel karya Najhaty Sharma ini berkisah tentang seorang perempuan pesantren yang tidak hanya berkutat pada wilayah domestik dan mendampingi suaminya yang menjadi seorang kiai muda. Lebih dari itu, sosoknya yang memang cakap secara pengetahuan dan gerakan juga aktif dalam mengisi pengajian, mengajar di madrasah, hingga membuka butik yang menjual busana karyanya.

 

Namun, di balik kecakapannya itu, perempuan tersebut memendam problem, yaitu belum bisa memberikan keturunan untuk suaminya yang menjadi penerus pesantren. Karena khawatir tidak ada penerus, suaminya diminta keluarganya untuk menikah dan terpilhlah seorang santri yang telah lama melayani keduanya. Konflik pun kian banyak muncul dengan peristiwa tersebut. 

 

Menariknya, novel ini coba membawa sudut pandang pertama dari tokoh-tokoh yang ada. Dengan begitu, penulis menghadirkan tokoh dari sudut pandang pertama tokoh lainnya. Pengalaman dan perasaan yang ditunjukkan semakin nyata.


Pembaca akan merasakan pengalaman perempuan dipoligami, laki-laki yang poligami, dan pandangan orang-orang sekitar. Pun, penulis hendak menunjukkan betapa perempuan pesantren bisa berdikari, mandiri dan cakap dalam berbagai hal.

 

3. Hilda

Novel karya Muyassarotul Hafidzoh ini berkisah tentang seorang perempuan yang memiliki masa lalu yang kelam, yaitu dijebak teman-temannya sampai mabuk berat, hingga diperkosa mereka. Kemudian, perempuan ini memilih melanjutkan hidupnya dan terus membangun masa depannya agar beranjak baik dengan masuk ke pesantren.

 

Di pesantren, ia menemukan sebuah kenyamanan dalam mendalami pengetahuan hingga melatih dirinya dalam menghadapi problem-problem yang lebih besar. Hal tersebut selalu dibantu oleh sosok panutannya, yaitu seorang pengasuh pesantrennya. Bukan kiai, melainkan seorang nyai. Ya, menariknya dari novel ini, penulis hanya menghadirkan seorang nyai, tanpa keberadaan kiai. Ketiadaan kiai ini tidak dijelaskan. Namun, satu hal yang pasti, penulis menaruh maksud untuk menampilkan perempuan sebagai tokoh yang memiliki peranan sentral dalam pesantren.


Tokoh utama ini sebetulnya merupakan sosok yang cerdas dan kritis. Pengetahuan yang diperolehnya selalu berani diuji dengan melontarkan pertanyaan dalam berbagai kesempatan yang didapatkannya. Di sini juga, penulis ingin menunjukkan bahwa perempuan juga punya daya kritis dan pengetahuan yang baik dalam hal keagamaan maupun pengetahuan umum. Sebab, tokoh utama juga tidak mencukupkan diri dengan pesantren saja. Ia juga melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad