Nasional SOSOK

Najhaty Sharma, Novelis Santri di Balik Karya Best Seller Dua Barista

Jum, 23 September 2022 | 17:00 WIB

Najhaty Sharma, Novelis Santri di Balik Karya Best Seller Dua Barista

Najhaty Sharma, nama asli Najhaty Mu’tabiroh, penulis novel Dua Barista.

Kudus, NU Online

Najhaty Sharma merupakan sosok di balik suksesnya novel Dua Barista yang mengisahkan keromantisan sosok ning dan gus. Di mana ning tersebut yang awalnya hidup bahagia bersama suaminya akhirnya merelakan diri untuk dimadu demi kelangsungan kaderisasi pesantren karena kemandulannya. 


Novel yang menyita perhatian berbagai kalangan khususnya pesantren itu tidak terlepas dari sosok Najhaty Sharma yang memiliki nama asli Najhaty Mu’tabiroh. Sosok yang lahir di Magelang pada 30 Juli 1988 itu tumbuh di lingkungan pondok pesantren Al-Asnawi Slamkanci Bandongan, Magelang, Jawa Tengah. Ia mengaku memiliki cita-cita ingin menjadi penulis sejak berusia 12 tahun.


“Saya merasa memiliki passion dan hobi menulis meskipun dulu hanya sekadar iseng-iseng saja. Setelah menjadi dewasa karena kebetulan senang sekali membaca akhirnya ingin mengikuti jejak penulis lain yang menebarkan manfaat melalui tulisannya,” ungkap Ning Najhaty sapaan akrabnya kepada NU Online Selasa (20/9/2022).


Selepas menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar, ia melanjutkan pendidikan di pondok pesantren salaf yakni di pondok pesantren Annur Maron Purworejo, kemudian menghafalkan Al Qur’an di pondok pesantren tahfidz PPSPA Sunan Pandanaran Yogyakarta, dan tabarukan di pondok pesantren Alfalah Ploso Kediri.


Selepas itu Ning Sharma menikah dengan Gus Abdul Aziz dan memiliki tiga orang anak, yakni satu putra dan dua putri. Keseriusannya dalam menulis baru dijalankan saat dirinya memasuki kepala tiga, sekaligus mendirikan penerbitan yang dinamai Najhatipena di sela-sela kesibukannya merintis pesantren dan lembaga pendidikan lainnya bersama sang suami.


Ning Najhaty dan suami mendirikan pondok pesantren Almunir Pangkat Tegalrejo Megelang sebagai bentuk melanjutkan perjuangan orang tua untuk menyiarkan NU di pelosok desa. Ia mengaku ingin berdakwah sesuai dengan kemampuannya melalui lembaga pesantren dan juga literasi.


Di pesantren ia turun langsung untuk mengajarkan santri dalam membaca maupun menghafal Al-Qur’an mulai dari tahapan qiroati. Selain itu Ning Najhaty juga fokus mengajarkan fiqih dasar, gramatika Arab dasar serta kitab yang membahas tentang akhlak.


Dakwahnya melalui tulisan didukung oleh sang suami, terbukti dengan karya-karyanya yang berhasil diterbitkan, di antaranya antologi cerpen berjudul Perempuan Tali Jagat, Halaqoh 1001 Aksara, Kupu-kupu Marrakesh, novel Dua Barista, dan antologi Lipsick.


Dari beberapa tulisannya tersebut yang menjadi best seller sampai saat ini adalah novel Dua Barista. Novel yang menceritakan kisah poligami itu ingin menyampaikan banyak hal terkait pesan moral yang dikandungnya, selain itu juga ingin memberikan kritik sosial dalam budaya pesantren yang tidak banyak dibidik dalam buku-buku yang lain.


“Saya ingin menjadi penulis yang juga mampu mengajak penulis lain untuk menuliskan tentang wajah pesantren dalam bingkai yang inklusif,” ujarnya.


Setelah novel Dua Barista itu terbit lebih dari 30 orang melakukan riset untuk dijadikan sebuah bahan skripsi, tesis, dan disertasi. 


Tentang novel Dua Barista

Novel yang fenomenal di kalangan pesantren itu berkisah tentang sepasang suami istri, gus dan ning yakni Ahvash dan Mazarina yang masih muda, cerdas, dan alim. Mereka digadang-gadang akan melanjutkan estafet kepemimpinan pondok pesantren milik keluarganya. Lima tahun menikah ternyata mereka masih belum diberikan keturunan, namun Mazarina dan Ahvash tetap berusaha untuk bisa memiliki keturunan.


Sampai akhirnya Mazarina divonis dokter smenderita suatu penyakit yang mengharuskannya untuk  pengangkatan rahim. Mazarina merasa sangat kecewa mengingat keluarganya yang menuntut agar segera memiliki keturunan sebagai kader penerus pengasuh pesantren kelak. 


Sampai akhirnya sang suami yaitu Ahvash dibawakan calon istri kedua yang bernama Mey oleh orang tuanya. Dari sinilah konflik mulai berjalan.


Sebenarnya di dalam nover tersebut lebih banyak memberikan kritik sosial terkait sisi lain pesantren yang jarang terekspos, mulai dari kegiatan sehari-hari, hingga tradisinya, hubungan gus dan ning dan masih banyak lainnya.


Seperti dalam frasa pada halaman 140, tentang kebanggaan kepada nasab yang sering terjadi kepada ning dan gus:


Karena tradisi pesantren dan realitas kadang-kadang justru membatasi perkembangan yang diharapkan. Putra-putri Kiai biasa dimuliakan, jika mereka tidak mampu mengartikan makna penghormatan itu dengan baik, maka mereka akan tergilas dalam fase stagnan, senang dihormati dan justru bukan ghiroh keilmuan yang ditingkatkan.


Selain kritik sosial tentunya masih banyak pembelajaran yang disampaikan dalam novel yang bergenre fiksi, roman religi tersebut.


Kontributor: Afina Izzati

Editor: Fathoni Ahmad