Nasional

Alissa Wahid Kritik Agenda Pembangunan dan Upaya Pemerintah Tingkatkan Kualitas Hidup Manusia

Jum, 18 Agustus 2023 | 11:30 WIB

Alissa Wahid Kritik Agenda Pembangunan dan Upaya Pemerintah Tingkatkan Kualitas Hidup Manusia

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid (Alissa Wahid. (Foto: Dok NU Online)

Jakarta, NU Online 
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid mengkritik pemerintah atas sejumlah hal yang hingga kini belum bisa memenuhi cita-cita para pendiri negeri ini. 


Kritik yang dilancarkan Alissa ini adalah soal kualitas hidup manusia hingga mengenai agenda pembangunan yang tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh untuk rakyat. Agenda-agenda pembangunan itu justru dimanfaatkan para elite untuk kepentingan mereka sendiri. 


Padahal, kata Alissa, para guru-guru mulia atau pendahulu bangsa merupakan seorang ksatria yang terus bekerja untuk menunaikan janji suci kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur. 


“Janji suci yang sampai saat ini belum terpenuhi. Kesejahteraan umum? Kehidupan bangsa yang cerdas? Indonesia yang adil dan makmur? Kadang, itu seperti asa indah yang lebih terasa semakin menjauh, tidak semakin mendekat,” ucapnya dalam Upacara 17-an Refleksi Kemerdekaan yang digelar Jaringan Gusdurian secara virtual, pada Kamis (17/8/2023).


Menurut Alissa, kualitas hidup manusia Indonesia belum cukup memadai. Dalam peringkat indeks pembangunan manusia, Indonesia masih jauh di bawah 100 negara teratas di bumi ini. Bahkan dalam ukuran Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA), Indonesia masih masuk dalam kategori negara terbelakang. 


Kesejahteraan juga masih jauh dari jangkauan. Para warga bangsa yang terpinggirkan, tak kunjung mendapatkan haknya untuk hidup dalam sistem yang adil baginya. Sebagaimana yang diperjuangkan para kelompok adat, petani, pekerja rumah tangga, penyandang disabilitas, bahkan bagi perempuan.


“Seringkali kita katakan bahwa Indonesia maju untuk gerakan perempuannya. Tapi masih banyak perempuan yang terdesak oleh tradisi yang memangkas potensi mereka,” ucap Alissa Wahid. 


Kualitas kehidupan atau kehidupan berbangsa di negeri ini juga belum cukup memadai. Hal itu ditandai dengan terus adanya pertikaian antarkelompok masyarakat serta mental mayoritas-minoritas yang mengorbankan kelompok-kelompok kecil dan lemah. 


“Sungguh miris membaca ibadah-ibadah yang dihentikan atas dasar ketidaksukaan warga di sekitarnya. Sungguh miris membaca kasus demi kasus kekerasan yang akhir-akhir ini tidak lagi kita dapat menyebut sebagai kasus, tapi kita perluas karena bisa jadi sudah mulai menjadi budaya,” ucap salah seorang Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.  


Kemudian, kualitas kehidupan bernegara di Indonesia pun belum cukup memadai. Sebab, kata Alissa, masih ada agenda-agenda pembangunan yang dibiayai oleh uang rakyat tetapi tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat. 


“Agenda-agenda pembangunan yang dibiayai oleh pajak yang kita setorkan kepada negara itu tidak disusun dan dilaksanakan sungguh-sungguh untuk rakyat, melainkan hanya sekadar membuat kegiatan yang berisi lomba pidato para pejabat,” sindir Alissa. 


Alissa mengaku miris setelah membaca bahwa dari seluruh anggaran program pemberantasan kemiskinan ekstrem sebesar Rp500 miliar, habis hanya untuk rapat para pejabat. Ia juga miris ketika mendengar kabar terkait kasus korupsi besar-besaran mencapai Rp8 triliun yang melibatkan mantan Menteri Komunikasi dan Informatika RI Johnny G Plate. 


“Sungguh miris menyimak kasus menara telekomunikasi yang diniatkan untuk mencerahkan kehidupan seluruh penjuru negeri, Rp8 triliun dicuri dan dibagi-bagi. Tidak ada menara yang dapat berfungsi. Penyelenggara negara masih sibuk berkongkalikong dengan pengusaha dan mereka-mereka yang serakah untuk memanfaatkan program-program yang ada,” katanya. 


Alissa mempertanyakan, bagaimana mungkin kualitas manusia Indonesia bisa melaju menuju Indonesia maju? Sementara anggaran untuk meningkatkan kualitas hidup mereka malah habis dibagi-bagi untuk mereka yang serakah.


Di sisi lain, perangkat demokrasi di Indonesia lengkap. Masyarakat Indonesia saat ini bisa memilih sendiri wakil rakyat dan pemimpin-pemimpin yang disukai. Bahkan, masyarakat bisa punya banyak cara untuk mengawasi para pejabat di negeri ini sehingga setiap kebijakan yang disusun seharusnya melibatkan rakyat. 


Tetapi perangkat demokrasi itu justru sering dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir elite pemegang kekuasaan. Bahkan, ia menyindir para pejabat yang meminta warganya untuk menggunakan modal transportasi umum, sedangkan para pejabat justru menggunakan fasilitas yang dibiayai oleh rakyat. 


“Perangkat demokrasi itu sering dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir elite yang memegang kekuasaan, yang saling bertransaksi di antara mereka, yang jauh dari rakyat, yang bisa mengatakan bahwa polusi Jakarta kalau warganya mau berangkat ke kantor dengan sepeda atau dengan transportasi publik, sementara mereka bepergian ke mana-mana dengan fasilitas yang dibiayai oleh rakyat, dengan kenyamanan tanpa peduli,” pungkas Alissa Wahid.