Nasional

Songsong Tahun Toleransi 2022, Alissa Wahid Paparkan Makna Keberagaman

Sel, 8 Februari 2022 | 12:00 WIB

Songsong Tahun Toleransi 2022, Alissa Wahid Paparkan Makna Keberagaman

Ketua PBNU Alissa Qotrunnada Wahid (kiri) saat berbicara dalam seminar nasional di Pontianak, Kalbar. (Foto: NU Online/Maulida)

Pontianak, NU Online
Ketua PBNU Alissa Qotrunnada Wahid mengutip pernyataan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengenai keberagaman Indonesia, bahwa keberagaman adalah raison d’etre (alasan keberadaan) Indonesia. Jika tidak ada keberagaman maka tidak perlu ada negara ini.


Alissa menyampaikan hal tersebut saat mengisi seminar nasional yang diselenggarakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalimantan Barat dan Mabes Polri bertema Membangun Moderasi Beragama dalam Bingkai NKRI Guna Menyongsong Tahun Toleransi 2022 di Hotel Mercure Pontianak, Senin (7/2/2022).


Perkataan Gus Dur yang dikutip Alissa tersebut memiliki makna bahwa tidak ada satu tanah, suku, atau ras apapun yang dapat disebut sebagai Indonesia, karena Indonesia terdari dari berbagai suku, agama, budaya, dan ras berbeda-beda.


“Oleh sebab itu, pada tahun 1945 muncul semangat untuk menjadi negara republik. Dengan kata lain Indonesia merupakan sebuah gagasan yang mempersatukan semua perbedaan,” ujar Alissa.


Lebih lanjut putri sulung Gus Dur ini memaparkan bahwa kehidupan bernegara itu sangat dinamis dan bukanlah merupakan status quo, maka bisa bersatu bisa pula berpecah. Seperti yang terjadi di Jerman yang terdiri atas gabungan Jerman Barat, Jerman Timur, serta Uni Soviet yang berpecah ke dalam berbagai negara.


“Oleh sebab itu seperti yang dikatakan oleh Gus Dur bahwa Pancasila adalah pemersatu bangsa, karena Pancasila dapat memperdatukan nasionalisme dan agama. Selama kita masih menerima Pancasila maka perpecahan bangsa tidak akan pernah terjadi,” papar Kornas Jaringan Gusdurian ini.


Alissa mengungkap bahwa beberapa masalah muncul belakangan ini, di antaranya meningkatnya jumlah insiden kekerasan dan intoleransi dalam 20 tahun terakhir. Kemudian meningkatnya jumlah legislasi yang rentan diskriminasi atas dasar mayoritas dan minoritas.


Lalu, lanjut dia, menguatnya praktek intoleransi dalam masyarakat umum berangkat dari sikap eksklusif dan ekstremisme dalam beragama, serta menguatnya kelompok pendukung kekerasan (based groups, violent extremism), serta praktik politik yang berbasis kekuasaan dan kapital.


“Secara umum terdapat dua arus utama praktik keagamaan yang berkembang, yakni praktek beragama yang substantif dan inklusif, yaitu seperti Trilogi Ukhuwah serta praktek beragama yang eksklusif-legal formalistik. Contohnya perda Injili dan Perda Syariah,” papar Alissa.


Menurut Alissa, Indonesia juga menghadapi tantangan yang muncul antara lain perkembangan paham keagamaan, dinamika otonomi daerah, penegakan hukum, serta demokrasi dan mayoritarianisme.


“Berangkat dari hal-hal tersebut, usaha yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Agama ialah melakukan penguatan Moderasi Beragama. Karena, moderasi ini merupakan kunci terciptanya kerukunan dan toleransi, dari tingkat lokal, nasional maupun global,” tuturnya.


“Moderasi beragama memiliki beberapa indikator, di antaranya memiliki komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi,” tutup Alissa.


Kontributor: Siti Maulida
Editor: Musthofa Asrori