Nasional

Alissa Wahid: Praktik Oligarki Politik Menggerogoti Nilai-nilai Pancasila

Sab, 29 Agustus 2020 | 12:45 WIB

Alissa Wahid: Praktik Oligarki Politik Menggerogoti Nilai-nilai Pancasila

Alissa Wahid. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengungkapkan soal realita Pancasila saat ini yang seringkali masih belum mampu diwujudkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya oleh masyarakat, tetapi juga oleh elit politik dan para pengambil kebijakan.


Sebab, tidak sedikit praktik-praktik politik di negeri ini yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Terutama dalam melanggengkan praktik oligarki politik yang berpotensi menggerogoti nilai-nilai Pancasila.


“Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Seharusnya tidak ada satu pun entitas di dunia ini yang layak dipertuhankan kecuali Tuhan itu sendiri,” ungkapnya dalam Webinar Kuliah Umum Wawasan Pancasila, Sabtu (29/8).


Namun sayangnya, lanjut Alissa, di zaman kapitalisme mutakhir dan sekaligus pula mewabahnya kalimat at-takfir (pengkafiran terhadap yang berbeda), maka tak sedikit manusia beriman yang sedang mencari tuhan-tuhan baru. Entah disengaja atau tidak.


“Banyak yang mempertuhankan nafsu akumulasi kapital, mempertuhankan penghisapan manusia atas manusia, mempertuhankan jabatan dan kekayaan, bahkan ada pula yang mempertuhankan diri dan tafsir agamanya seolah-olah sebagai yang paling benar atau mutlak benar, dengan menghardik dan mengancam tafsir orang lain yang berbeda,” lanjutnya.


Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Ia menambahkan bahwa kemanusiaan hanya mungkin tegak berdiri di atas keadilan dan keadaban. Beberapa diantaranya adalah dengan cara distribusi sumber daya ekonomi secara adil dan merata, serta merawat keragaman dengan adab dan budaya.


“Tanpa keadilan dan keadaban, kemanusiaan hanya tinggal jargon dan utopia. Inilah tantangan manusia Indonesia saat ini di tengah kebangkitan oligarki di satu sisi, dan suara-suara kebencian rasila serta permusuhan identitas di lain sisi,” jelas Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) ini.


Selain itu, kurangnya penghayatan akan keadilan dan keadaban membuat orang mudah terjangkit fanatisme, rasisme, sikap anti-kritik, melakukan korupsi, melakukan perampasan atas hak orang lain, memuja  hujatan, dan tak sungkan mempertontonkan kekerasan.


“Maka tak heran, 75 tahun Indonesia merdeka, tetapi masih terus didera persoalan sosial yang tak kunjung reda. Mulai dari pelarangan pendirian rumah ibadah, intimidasi terhadap kelompok minoritas agama, maraknya kekerasan terhadap perempuan, kekerasan rasial, hingga perampasan tanah petani dan masyarakat adat,” jelas putri sulung KH Abdurrahman Wahid ini.


Ketiga, Persatuan Indonesia. Menurut Alissa, setelah bangsa Indonesia Bersatu untuk mengusir penjajah, maka makna persatuan setelah itu adalah persatuan segenap manusia Indonesia untuk mengikis kemiskinan dan ketimpangan sosial.


“Selain itu juga persatuan melawan korupsi, persatuan melawan perusakan lingkungan, dan yang paling utama adalah persatuan menegakkan cita-cita kemanusiaan dan keadilan,” kata psikolog lulusan Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta ini.


Namun ironinya, lanjut Alissa, sekarang rakyat semakin terpecah atas dasar sentimen rasial dan agama. Sementara oligarki justru tengah bersatu melanggengkan korupsi dan mereproduksi kejahatan yang berpotensi menggerogoti prinsip dasar dan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan bernegara.


“Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kebijaksanaan seharusnya membimbing semua percakapan politik dan ekonomi hari ini yang telah banyak diingkari,” katanya.


Para pemimpin dan wakil rakyat yang dipilih untuk mewakili aspirasi politik rakyat, justru meninggalkan rakyat. Banyak pula dari mereka yang membiarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilucuti dan mengabaikan pelanggaran HAM.


“Bahkan mereka itu bermusyawarah di gedung wakil rakyat tetapi sebenarnya tidak sedang mewakili rakyat. Tetapi mewakili kepentingan para pemodal dan petualang politik,” katanya.


Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia menegaskan bahwa sampai saat ini, ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi masih sangat tinggi. Kemiskinan meluas dari desa hingga ke kota. 


“Bahkan satu persen orang terkaya di Indonesia masih menguasai 46 persen kekayaan di tingkat nasional. Mereka menguasai modal, sumber daya alam, dan mengatur jalannya kebijakan negara yang merugikan rakyat dan keberlanjutan lingkungan di Indonesia,” tegasnya.

 

Oleh karena realita yang demikian itu, Alissa Wahid berharap agar bangsa Indonesia secara bersama-sama mampu melakukan transformasi untuk membelokkan arah bangsa menjadi lebih baik. Transformasi yang dilakukan, haruslah transformasi yang berbasis Pancasila.


“Yudi Latif di dalam buku Wawasan Pancasila mengungkapkan bahwa Pancasila harus diejawantahkan di dalam proses transformasi yang multikompleks. Ada transformasi nasional, transformasi politik, transformasi ekonomi, sosial, dan budaya,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad