Nasional

Ambil Langkah Uji Materi, Buruh Minta Hakim Konstitusi Independen 

Sel, 13 Oktober 2020 | 15:00 WIB

Ambil Langkah Uji Materi, Buruh Minta Hakim Konstitusi Independen 

Beberapa hal yang menjadi fokus serikat buruh dan pekerja adalah klaster ketenagakerjaan, di antaranya soal outsourcing, upah murah, pesangon yang diturunkan, dan PHK.

Jakarta, NU Online

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan bakal menempuh jalur konsitusional dalam menyikapi UU Cipta Kerja. Sebab diakuinya, berbagai kajian telah dilakukan bersama serikat buruh se-Indonesia.

 

Setelah mempertimbangkan berbagai pandangan, ia tetap berkeyakinan akan mengambil langkah hukum judicial review di Mahkamah Konstitusi, saat UU Cipta Kerja benar-benar disetujui dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. 

 

"Hakim konstitusi harus bersikap independen. Harus menyatakan atas nama keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena jujur saja buruh-buruh ini gamang. Hakim konstitusi itu komposisinya adalah tiga dari DPR, tiga dari Presiden, dan tiga independen. Kalau melihat itu, kita khawatir juga," jelasnya mewakili serikat dan konfederasi buruh se-Indonesia dalam konferensi pers yang dilakukan secara virtual pada Senin (12/10) kemarin.

 

Dalam beberapa kasus, tambah Said, hakim konstitusi jika sudah berbicara soal angka cenderung akan mengalahkan penggugat. 

 

"Misalnya pesangon dari 32 kali upah turun menjadi 25. Nanti MK akan bilang lagi, tidak ada yang salah tentang nilai karena itu adalah hak pembuat UU DPR dan Pemerintah, tapi prinsipnya tetap ada pesangon. Buruh kan ngeper (khawatir) juga digituin. Kegamangan itu jangan direspons negatif. Hakim harus independen," tegasnya.

 

Di dalam judicial review nanti, Said Iqbal akan menggugat dua hal. Pertama, menggugat secara formil. Sebab, pada prosesnya dinilai sangat tidak transparan. Ia menyebut, Pemerintah dan DPR melakukannya dengan sembunyi-sembunyi dari hotel ke hotel untuk membahas UU Cipta Kerja ini.

 

"Sidang paripurna yang seharusnya 8 Oktober dimajukan jadi 5 Oktober. Bahkan ditemukan pemberitaan di media-media bahwa yang dibawa dalam rapat paripurna oleh anggota DPR adalah kertas kosong," paparnya.

 

Lebih lanjut ia memaparkan, dari informasi yang didapat ditemukan bahwa anggota DPR pada saat sidang paripurna 5 Oktober lalu, baik yang hadir fisik maupun secara virtual tidak sama sekali memegang draf yang telah disetujui Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

 

"Hari ini saja kita belum bisa mengakses (naskah final yang benar). Makanya kalau kita dibilang menyebar hoaks, yang benarnya mana? Maka, secara formil kita akan gugat. Kalau MK menemukan cacat formil, gagal semua itu Omnibus Law," papar Said.

 

Selain gugatan secara formil, Said Iqbal juga mengaku akan melakukan gugatan secara materil. Beberapa hal yang menjadi fokus serikat buruh dan pekerja adalah klaster ketenagakerjaan. Di antaranya adalah soal outsourcing, upah murah, pesangon yang diturunkan, dan PHK.

 

"Tapi kita ingin dapatkan dulu mana naskah yang benarnya UU Cipta Kerja itu. Tentu kelompok lain juga akan menggugat secara materil," katanya.

 

Berikutnya, ia akan meminta pemerintah mengeluarkan executive review. Namun, jika pemerintah tidak bisa, ia akan mendorong juga DPR agar mengeluarkan legislative review. Menurut Said, hal tersebut sah secara hukum ketatanegaraan Indonesia.

 

Keterangan dari DPR

Untuk menjawab simpang-siur soal naskah yang asli dari UU Cipta Kerja, DPR menggelar konferensi pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (13/10). Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menegaskan, naskah resmi UU Cipta kerja berjumlah 812 halaman.

 

Menurutnya, jika hanya sebatas UU Cipta Kerja berjumlah 488 halaman. Kemudian ditambah penjelasan sehingga menjadi 812 halaman. Dengan demikian, kata Azis, simpang-siur jumlah halaman ada yang berhalaman lebih dari 100 lembar. 

 

"Secara resmi, kami lembaga DPR RI berdasarkan laporan Bapak Sekjen DPR Indra Iskandar, jumlah halaman sebanyak 812 halaman. Hal-hal ini perlu kami sampaikan untuk menyampaikan klarifikasi supaya tidak membingungkan khalayak dan masyarakat luas," katanya.

 

Ia kemudian menjelaskan alasan mengapa terjadi perbedaan jumlah halaman dalam draf UU Cipta Kerja yang diserahkan Baleg DPR pada rapat paripurna dengan naskah resminya. Azis menyebutkan, perbedaan jumlah halaman terjadi setelah melalui proses perbaikan.

 

"Mengenai jumlah halaman, itu adalah mekanisme pengetikan dan editing tentang kualitas dan besarnya kertas yang diketik. Proses yang dilakukan di Baleg menggunakan kertas biasa. Tapi pada saat sudah masuk ke dalam tingkat II proses pengetikannya menggunakan kertas legal yang sudah menjadi syarat dan ketentuan dalam UU," tuturnya.

 

Batas waktu untuk DPR yang akan menyerahkan naskah final UU Cipta Kerja ke Presiden Joko Widodo jatuh pada Rabu, 14 Oktober 2020 tepat pukul 00.00 WIB. 

 

"Nanti pada saat resmi besok UU Cipta Kerja ini dikirim ke presiden, maka secara resmi UU ini menjadi milik publik," ucap Azis.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan