Risalah Redaksi

Memperjuangkan Nasib Buruh dari Eksploitasi

Ahad, 11 Oktober 2020 | 13:00 WIB

Memperjuangkan Nasib Buruh dari Eksploitasi

UU Cipta Kerja menegaskan keberpihakan kepada kelompok pengusaha ketimbang buruh, yang tentu kian melanggengkan ketimpangan ekonomi.

Demonstrasi terjadi di berbagai kota di seluruh Indonesia ketika RUU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan oleh DPR. Buruh bersama dengan mahasiswa dan berbagai kelompok aktivis berpendapat, alih-alih meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh, beberapa pasal kontroversial menimbulkan ancaman baru bagi para buruh yang selama ini telah tereksploitasi sebagai tenaga kerja berupah murah.

 

Salah satu pasal yang ditolak buruh adalah jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja yang memberi peluang kepada pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas. Dalam undang-undang sebelumnya, yaitu pada pasal 59 ayat (4) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PWKT dapat dilakukan maksimal selama dua tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali dalam waktu paling lama satu tahun.

 

Soal lain yang berbeda dari sebelumnya adalah hilangnya hak cuti panjang yang sebelumnya diatur UU lama menjadi diatur oleh perusahaan. UU baru hanya menyebut ketentuan libur satu hari dari enam hari kerja, sementara UU lama menyebut dua hari libur dalam satu pekan. Selanjutnya, terkait dengan pengupahan, UU baru hanya mengatur tujuh jenis pengupahan dari sebelumnya sebelas. Soal pekerja alihdaya yang sebelumnya hanya lima sektor kini tidak ada batasan, dan lainnya. Deretan pasal-pasal bermasalah ini akan panjang jika diurai satu per satu. Inti dari UU Cipta Kerja ini adalah keberpihakannya kepada pengusaha dibandingkan dengan pekerja.

 

Publik menyadari terdapat persoalan besar terkait dengan banyaknya UU yang mengatur dunia usaha yang akhirnya malah menjadi faktor penghambat. Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain yang memberikan kemudahan perizinan dan kepastian hukum dalam berusaha. Upaya penyederhanaan aturan menjadi sesuatu yang sifatnya mutlak dalam dunia yang semakin kompetitif.

 

Omnibus Law Cipta Kerja terkait dengan 74 UU yang ada sebelumnya. Dalam UU Cipta Kerja ini, terdapat 11 klaster dengan 1244 pasal yang sebelumnya diatur terpisah-pisah dalam berbagai UU. Dengan adanya penyederhanaan aturan ini, pemerintah berharap terjadi kemudahan usaha. Para investor diharapkan tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Jika semakin banyak industri atau jasa baru yang dibangun, maka terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja mengingat di Indonesia, setiap tahun tumbuh 2.5 juta angkatan pekerja baru. 

 

Banyak pihak berkepentingan terhadap dunia usaha dan sayangnya, kepentingan tersebut tidak selalu selaras, bahkan saling bertentangan. Buruh menginginkan gaji yang layak sementara pengusaha menginginkan gaji yang murah. Pertarungan ini terus berlangsung dari waktu ke waktu. Perubahan undang-undang ini dimanfaatkan para pihak untuk melindungi kepentingannya masing-masing mengingat UU merupakan aturan main yang disepakati bersama. Sayangnya, dalam pembuatan aturan main ini, kelompok pengusaha memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan para buruh. Apalagi dalam situasi pandemi ketika banyak sektor bisnis mengalami kelesuan.

 

Dalam sebuah negara demokrasi, masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan aspirasinya melalui demonstrasi, namun dengan memperhatikan ketertiban publik. Sayangnya, upaya untuk menyampaikan aspirasi ini dinodai oleh sejumlah perusakan fasilitas publik. Hal ini tentunya menodai perjuangan yang dilakukan oleh para buruh. Cara-cara yang simpatik perlu dikedepankan untuk meraih dukungan dari masyarakat.

 

Nahdlatul Ulama dan sejumlah organisasi lainnya berencana akan melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi atas pasal-pasal yang merugikan nasib buruh atau pasal-pasal bermasalah lain. Di sini, para ahli akan mengadu argumentasi secara eelgan apakah pasal-pasal yang diujimaterikan tersebut layak untuk dihapus atau diperbaiki.

 

Hal lain yang perlu dikawal adalah aturan turunan yang mengatur secara lebih detail tentang berbagai hal yang sebelumnya masih abstrak. Aturan-aturan ini lebih operasional yang akhirnya berpengaruh langsung terhadap jalannya undang-undang tersebut. Satu pasal yang terlihat mendukung kepentingan buruh bisa berbalik arah jika aturan turunannya memuat syarat dan ketentuan yang memberatkan bagi buruh.

 

Perdebatan antara pertumbuhan atau pemerataan dulu yang harus didahulukan telah berlangsung sejak lama. Sejauh ini, rezim yang selalu menang adalah rezim pertumbuhan yang akhirnya melahirkan sekelompok kecil pengusaha yang sangat kaya sementara di sisi lain, jutaan pekerja tertinggal dalam kemiskinan. Ketimpangan ekonomi yang ada bukannya menyempit, malah melebar. UU Cipta Kerja ini menegaskan keberpihakan kepada kelompok pengusaha yang selama ini sudah sangat kaya.   

 

Menjadikan Indonesia sebagai sebuah tempat yang menarik bagi investasi dan mudah untuk berusaha mensyaratkan banyak hal. Penyederhanaan aturan merupakan kemutlakan, namun terdapat hal-hal lain yang krusial. Misalnya, biaya tinggi lantaran masih adanya suap yang mesti dikeluarkan kepada para oknum. Biaya ini akan dimasukkan dalam komponen biaya produksi yang akhirnya menentukan murah atau mahalnya produk atau jasa yang dijual. Jika biaya produksi tak mampu bersaing dengan negara lain, Indonesia tetap tak akan kompetitif sebagai tempat untuk investasi sementara nasib buruh semakin tertindas.

 

Demokrasi seharusnya memberi peluang kepada kelompok buruh untuk memperjuangkan kepentingannya, tentu dengan syarat berupa kemampuan mengorganisasi dan menyatukan visi untuk secara bersama-sama menjadikannya sebuah kebijakan yang berpihak pada mereka. Kekuatan yang terpecah belah bagaikan buih yang tak mampu membuat perubahan apa pun. Ungkapan klasik bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh sangat relevan dalam berjuang menghadapi aturan-aturan yang menindas buruh. (Achmad Mukafi Niam)