Nasional

Anda ‘Ketindihan’ Saat Tidur? Bukan Karena Diganggu Setan, Tapi..

Jum, 26 Agustus 2022 | 23:00 WIB

Anda ‘Ketindihan’ Saat Tidur? Bukan Karena Diganggu Setan, Tapi..

Ilustrasi ketindihan saat tidur atau lebih dikenal sebagai sleep paralysis.

Jakarta, NU Online
Ketindihan atau lebih dikenal sebagai sleep paralysis secara medis sering disalahartikan sebagai kejadian supernatural. Padahal itu merupakan bentuk kondisi medis yang tidak berbahaya dan cukup normal untuk dialami banyak orang.


Dokter dari Lembaga Kesehatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LK PBNU) dr Citra Fitri Agustina memaparkan, sleep paralysis terjadi di saat mekanisme otak dan tubuh saling bertubrukan, tidak berjalan selaras saat tidur. Sehingga menyebabkan tubuh tersentak bangun di tengah siklus REM (rapid eye movement).


“Ketindihan itu kondisi di mana seseorang setengah tidur setengah sadar. Itu terjadi ketika otak belum siap menerima sinyal untuk bangun dari tubuh,” ujarnya kepada NU Online, Jumat (26/8/2022).


“Jadi, bukan karena makhluk halus, ya,” sambung dr Civi, sapaan akrabnya.


Menurut dia, banyak orang menganggap ketindihan saat bangun tidur disebabkan oleh makhluk halus. Ketindihan digambarkan dengan kondisi tubuh kaku tidak dapat bergerak, namun tubuh dan pikiran menyadari bahwa Anda sudah bangun tidur.


“Di saat itu, biasanya Anda tidak mampu berbicara sama sekali, merasa dadanya ditekan oleh benda yang sangat berat, sulit bernapas, dan berkeringat sangat banyak,” jelasnya.


Dokter Civi menerangkan, ada beberapa faktor pemicu seseorang mengalami ketindihan. Salah satunya adalah kurang berolah raga. Kurang berolah raga bisa meningkatkan kecemasan dan cenderung  membuat orang sulit tidur nyenyak.


“Ketindihan itu rata-rata dialami oleh orang yang memiliki gangguan kecemasan berlebih. Termasuk gangguan panik, mereka lebih mungkin mengalami hal itu,” terangnya.


Lebih lanjut, ia juga menyebutkan bahwa penyebab ketindihan dapat berkaitan dengan adanya gangguan stres pasca-trauma (PTSD).


“Biasanya terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami kejadian yang membuatnya trauma atau tekanan fisik dan emosional lainnya,” ungkap dr Civi.


Menurut dr Civi, meskipun penyebab ketindihan belum diketahui secara pasti dan mendalam, namun beberapa penelitian menjelaskan bahwa risiko ketindihan rentan terjadi pada orang dengan ciri-ciri imajinatif atau disosiasi dari lingkungan terdekat.


Untuk mengatasinya, ia menyarankan untuk menerapkan pola hidup sehat, mengurangi begadang, dan rutin berolah raga. “Perbaiki jam tidur, sempatkan berolah raga, dan cari kegiatan positif yang membuat pikiran rileks,” tuturnya.


Berdasarkan Journal of Neuropsychiatric Disease and Treatment, durasi ketindihan dapat berlangsung selama beberapa detik hingga sekitar 20 menit.


Umumnya, durasi rata-ratanya adalah antara 6-7 menit. Pada kebanyakan kasus, durasi berakhir dengan sendirinya.


Tak menutup kemungkinan, durasi tersebut terganggu oleh sentuhan, suara orang lain, atau upaya diri sendiri yang intens untuk bergerak sebagai upaya mengatasi atonia.


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori