Nasional

Banjir Jakarta dalam Prasasti dan Manuskrip

Sab, 4 Januari 2020 | 01:00 WIB

Banjir Jakarta dalam Prasasti dan Manuskrip

Guru Besar Filologi Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman menyebut manuskrip belum menjadi rujukan mitigasi bencana.

Jakarta, NU Online
Bencana banjir yang terjadi di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta belum juga terselesaikan. Puncaknya pada malam tahun baru 2020, warga ibukota kembali menghadapi persoalan tersebut. Padahal, bencana ini bukanlah barang baru di wilayah itu mengingat sudah pernah diantisipasi oleh Kerajaan Tarumanegara pada abad kelima Masehi yang termaktub dalam sebuah Prasasti Tugu.

Guru Besar Filologi Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman menjelaskan bahwa prasasti tersebut menerangkan penggalian sungai di Bekasi oleh Raja Diraja Guru dan penggalian sungai Gomati di Cakung, tujuannya untuk menghindari bencana banjir. 

“Artinya sejak dulu daerah ini rawan banjir,” katanya dalam Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) Kesembilan yang disiarkan langsung melalui akun media sosialnya pada Jumat (3/1).

Di samping itu, persoalan ini juga diceritakan dalam sebuah manuskrip berjudul Hikayat Merpati Emas yang disalin oleh Muhammad Bakir pada 20 Dzulhijah 1304 atau bertepatan dengan 9 September 1887. Meski tidak secara spesifik membahas tentang banjir, namun ada bagian yang menceritakan permasalahan tersebut pada halaman 19 hingga 22.

Oman menceritakan bahwa manuskrip tersebut menggambarkan secara rinci peristiwa banjir dengan suaranya yang bergemuruh, ada teriakan minta tolong, suara tangis, ada yang berlari mencari pohon yang tinggi, meninggal tenggelam, hingga proses air naik sampai ke puncak rumah.

Ada pula orang yang tetap hidup karena lari ke gunung. Oman menyebut hal itu sebagai satu motif untuk berlari menyelamatkan diri ke dataran yang lebih tinggi. “Ini satu motif sebetulnya. Motif maksudnya kalau ingin selamat itu ke tempat yang tinggi,” katanya.

Tak aneh, jika orang di Pulau Simeuleu di Aceh, ketika terjadi tsunami, korbannya hanya 70 orang. Mereka telah mengerti ketika air laut surut, local wisdom memerintahkan agar mereka lari ke gunung. “Local wisdom itu memori kolektif yang harus diturunkan,” tegas alumnus Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya itu.

Naskah tersebut merupakan koleksi Perpustakaan Nasional dengan kode naskah ML 249 yang sebelumnya menjadi koleksi Taman Bacaan Fadli di Pecenongan, Betawi. Naskah ini, jelas Oman, telah diteliti oleh Henry Chambert Loir.

Di samping itu, ada pula naskah yang menjadi salah satu rujukan buku berjudul Gagalnya Sistem Kanal Pengendalian Banjir dari Masa ke Masa yang ditulis oleh Restu Gunawan. Naskah tersebut menggambarkan tentang banjir secara rinci prosesnya, hujan yang terjadi terus-menerus tanpa henti hingga air itu menggenang dan banjir.

Manuskrip Belum Jadi Rujukan Mitigasi Bencana
Dari gambaran tersebut, Oman menyayangkan bahwa memori kolektif bangsa ini  belum menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijakan mitigasi bencana. “Memori kolektif kita tentang bencana itu sudah tertulis lama. Tapi kenapa tidak memberi kita lesson learn, lalu kemudian dicoba diterjemahkan di dalam apakah sistem pengendalian mitigasi bencana dan seterusnya,” ujarnya.

Dalam kasus bencana lain, misalnya, Oman menjelaskan bahwa manuskrip sudah menjelaskan motif-motifnya. Likuifaksi dan tsunami, ia mencontohkan, itu sudah termaktub dalam memori kolektif masyarakat Nusantara. Hal itu, menurutnya, bukanlah ramalan, tetapi sebuah catatan peristiwa yang pernah dialami di masa silam, sebagaimana yang dicontohkan di atas pada tsunami di Aceh.

“Maslahanya, manuskrip sebagai modal sosial budaya itu kurang dijadikan rujukan oleh para akademisi, pengambil kebijakan ketika merumuskan mitigasi bencana, strategi kebijakannya seperti apa,” katanya.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Abdullah Alawi
Â