Nasional

Soal Bencana Alam, Ketua LPBI NU: Keshalehan Ritual Harus Linear dengan Keshalehan Sosial

Sel, 17 Desember 2019 | 19:00 WIB

Soal Bencana Alam, Ketua LPBI NU: Keshalehan Ritual Harus Linear dengan Keshalehan Sosial

Ketua LPBI NU, M Ali Yusuf saat mengisi Debat Interaktif Berpikir tentang Eco-Citizenship dan Konsumsi Berkelanjutan di Institut Français Indonesia, Ahad (15/12) (Foto: NU Online/Anty Husnawati)

Jakarta, NU Online
Ketua Lembaga Penangggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) M Ali Yusuf menjelaskan hal yang paling penting terkait kejadian atau fenomena perubahan iklim sampai dampaknya, adalah karena perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab. 
 
"Perilaku tidak bertanggungjawab sebenarnya dari sisi agama mana pun.  Kalau kami dari Islam ada konsep namanya mubadzir. Di dalam Al-Qur'an jelas (disebutkan) orang mubadzir itu temannya setan," kata Ali saat memberikan materi pada acara Debat Interaktif Berpikir tentang Eco-Citizenship dan Konsumsi Berkelanjutan di Institut Français Indonesia, Ahad (15/12).
 
Menurutnya di Indonesia yang mayoritas Muslim, konsep ini juga tidak berlaku efektif karena ternyata Indonesia salah satu penghasil sampah terbesar juga. Artinya, hal tersebut menjadi tantangan semua pihak.
 
Kemudian, lanjutnya, ada juga hadits yang menjelaskan ada tiga hal yang tidak boleh dimonopoli, tidak boleh dieksploitasi secara semena-mena, yaitu air, hutan, dan energi. Sayangnya, di Indonesia hal itu juga sepertinya kurang berlaku atau belum diterapkan.
 
"Nah, ini yang perlu kita pikirkan bersama ke depan. Sebenarnya ada apa dengan cara keberagamaan kita. Kita di dunia dianggap paling taat beragama dan sebagainya, karena memang di dalam agama sendiri kita tahu bahwa memang keshalehan ritual kita tidak linear dengan keshalehan sosial kita," ujarnya.
 
Pria kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur itu juga menyampaikan bahwa dampak utama manifestasi dari perubahan iklim adalah terjadinya bencana. Hal tersebut berdasarkan data BNPB institusi yang bertanggung jawab terkait dengan penanggulangan bencana. Dalam sepuluh tahun terkakhir dari 2009-2018 kejadian bencananya itu kejadian karena hidrometereologis.
 
Jadi, lanjutnya, kalau kita mengingat peristiwa di Palu dan Lombok itu hanya sekian kecil meskipun dampaknya juga banyak. Tapi sepuluh tahun terakhir adalah bencana-bencana karena kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
 
"Ini juga tahun 2019 baru rilis seminggu yang lalu, bahwa setahun ini juga masih didominasi oleh bencana-bencan karena kerusakan lingkungan atau bencana hidrometerologi. Ini yang seharusnya dilakukan oleh kita semua ada mitigasi juga ada adaptasi. Sebenarnya sudah sangat lengkap, pemerintah kita juga sudah tahu apa yang harus dilakukan terkait dengan kita mengendalikan perubahan iklim," paparnya.

Ia menegaskan, siapa pun boleh saja belum tentu sepakat. Akan tetapi, dirinya sangat yakin bahwa perubahan iklim itu terjadi karena krisis moral. "Karena perilaku kita semua ini terkait moral. Mangkanya sebenarnya agama itu punya tanggung jawab dan sekaligus punya peran yang strategis karena agama mampu mengubah perilaku kita," ungkapnya.
 
 
Kontributor: Anty Husnawati
Editor: Kendi Setiawan