Nasional MQKN 2023

Berdebat Sengit soal Zakat, Berkerabat Asik Jadi Sahabat

Sab, 15 Juli 2023 | 19:00 WIB

Berdebat Sengit soal Zakat, Berkerabat Asik Jadi Sahabat

Dua tim Debat Bahasa Arab MQKN 2023 di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur, Sabtu (15/7/2023). (Foto: NU Online/Malik)

Lamongan, NU Online

Meskipun langit cerah, suasana siang itu tidaklah terik, justru yang dirasakan adalah sejuk, semilirnya angin terasa lembut. Namun, berbeda halnya dengan suasana pada Majelis Debat Bahasa Arab Musabaqah Qiraatil Kutub Nasional (MQKN) 2023, sebab suasana debat antara Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes Jawa Tengah dengan Pondok Pesantren Thawalib Parabek, Bukittinggi, Agam, Sumatra Barat berlangsung panas.


Mereka sedang berdebat tentang Reformulasi Fiqih Zakat, apakah zakat dapat direformasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Santri Pondok Pesantren Al-Hikmah 2 yang terdiri dari Faqih Muhajir Alhamidy (18), Fauzul Muiz (16), M. Alwanassif Al-Ghifari (17), saling bergantian mengemukakan argument yang menentang hal tersebut. Sementara Syauqi Makarim (17), Hidayah Amanta (18), M. Yazren Arrafi (16) dari Pondok Pesantren Thawalib berada di pihak lawannya yang menyepakati hal tersebut. Argumen kedua tim sama-sama kuat, mengeluarkan dalil, pendapat dari ulama dengan rujukan kitab turats.


Debat panas hanya terjadi di atas forum, setelah selesai mereka saling berjabat tangan, bahkan berfoto bersama, berjalan keluar forum saling mengobrol menanyakan perihal perjalanan dari daerah masing-masing.

 
“Tadi debatnya panas, karena banyak perdebatan yang kita debatkan di dalamnya. Tetapi di luar forum kita tetap menjaga solidaritas, silaturahmi antarpondok. Jadi nggak ada perdebatan di luar forum itu sendiri,” ujar Faqih Muhajir Alhamidy (18) selepas forum debat.


Ia mengaku argumen dari tim pro sangat kuat, sehingga debat berjalan seru. Untuk persiapannya sendiri, ia sudah mempersiapkan untuk lomba ini satu bulan yang lalu, ditambah lagi sebelumnya telah tampil di tingkat provinsi, sehingga tidak merasa kaget.
 

Santri yang mengenakan batik berwarna hijau itu berharap ke depannya bisa semangat dalam mengembangkan diri untuk lebih baik lagi, supaya bisa seperti para ulama yang dapat menjaga keotentikan ilmu, sehingga bisa menjaga ajaran Islam.


Hal senada juga diungkapkan oleh Syauqi Makarim (17) dari Pondok Pesantren Thawalib Parabek, ia juga mengaku lega setelah bisa menyelesaikan debat yang berlangsung panas tadi.


“Tadi merasa tampil gugup, tetapi setelah tampil lega, debatnya cukup panas. Tadi membahas reformasi fiqih zakat, kami berada di tim pro, memberikan dalil yang setuju, tim kontra kontra juga memberikan dalil yang sama-sama kuat. Jadi debatnya meriah dan panas,” ujarnya.


Ia mengungkapkan bahwa referensi berasal dari kamus atau dari kitab, sementara untuk hujjah dan argumen berasal  kitab-kitab ushul fiqih “Kita mengambil dari turots-turots, kitab-kitab kuning, kitab klasik, syarah-syarah dari para guru, dari ulama yang paham dengan kitab tersebut,” imbuhnya.


Lomba ini, baginya, menjadi wahana untuk menambah wawasan. Menurutnya, semakin tahu akan suatu ilmu, maka semakin merasa bodoh. “Masih banyak santri-santri lain yang hebat di bidangnya,” katanya.


Sementara itu, Ketua Dewan Hakim Debat Bahasa Arab MQKN 2023, Prof Amrah Kasim mengatakan tema-tema yang diangkat pada Debat Bahasa Arab berkaitan dengan masalah yang sangat baru dan berkembang di kalangan umat Islam, yang memang perlu diketahui oleh publik dan perlu dibahas oleh santri.


“Temanya kan tentang fiqih, merujuk pada pemahaman kitab kuning. Kita kan harus merekontektuslisasi supaya bisa berlaku dalam masyarkat, bagaimana pemaham kita, makanya debat ini mengarah bagaimana rekontekstualisasinya, contohnya apakah fiqih haji perlu direkontesktualisasi, apakah fiqh zakat juga, zaman kan berkembang,” ujarnya.


Akademisi UIN Sultan Alauddin Makasar itu menjelaskan bahwa di dalam kitab kuning ada sisi-sisi yang perlu dikembangkan dan itu menjadi bagian dari debat, sehingga harus ada dibarengi dengan tim pro dan kontra.


“Untuk penilaian aspeknya, bahasa, visi, kemampuan nalar, dan kemampuan debat. Ada enam aspek, pertama bagaimana isinya, memang mereka mengutarakan isi daripada debat itu, kemudian yang kedua bagaimana strategi mempertahankan kalau dia pro, yang kedua bagaimana kalau menyerang jika kontra, seperti bahasanya juga dan aspek pemahaman mereka secara menyeluruh,” pungkasnya.


Ia berharap bahwa ke depannya mujadalah atau debat, masuk ke dalam kurikulum pesantren, dengan kata lain santri dilatih bagaimana melihat suatu masalah, bagaimana mendebatkannya.
 

“Sehingga ketika musabaqah tidak kelabakan, karena sudah familiar, sudah masuk ke dalam pelajaran. Ada tiga mata pelajaran yang dimasukkan ke dalam debat atau mujadalah, yaitu Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Fiqih,” pungkasnya.


Kontributor: Malik Ibnu Zaman