Nasional

BMKG: 2023 Berpotensi Jadi Tahun Terpanas

Kam, 23 November 2023 | 08:00 WIB

BMKG: 2023 Berpotensi Jadi Tahun Terpanas

Ilustrasi suhu udara panas. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online 

Pada tahun 2023, fenomena panas yang berlebihan (heatwave) terjadi di banyak tempat secara bersamaan. Hal tersebut fakta nyata bagaimana dampak perubahan iklim telah dirasakan oleh setiap manusia di belahan negara manapun.


Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa tahun 2023 sangat berpotensi menjadi tahun dengan temperatur terpanas sepanjang sejarah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan suhu permukaan di beberapa tempat di dunia yang mencapai suhu di atas 40°C.


"Sebelumnya rekor tahun terpanas adalah pada 2016 saat terjadi El Nino namun 2023 memecahkan rekor sebagai tahun terpanas," ujarnya dikutip dari situsweb BMKG pada Rabu (22/11/2023).


Ia menjelaskan, berdasarkan data yang dihimpun dari World Meteorological Organization (WMO), Juli 2023 menjadi bulan terpanas sepanjang sejarah. Ia memberi contoh, pada Juli tahun 2023 di wilayah Sardinia, Italia suhunya mencapai 48 °C. Lalu di Rhodes, Yunani suhunya mencapai 49 °C. Kemudian Maroko serta Afrika Utara suhunya mencapai > 47 °C. 


"Sementara itu, Amerika Serikat tercatat mencapai suhu maksimal 53 °C dan selama 31 hari berurutan mencapai suhu > 43°C. Yang sangat mencemaskan di Bolivia saat winter (musim dingin) di Agustus suhunya mencapai 45°C. Ini realita dengan pengolahan data yang diukur langsung dan dirasakan oleh masyarakat," imbuhnya.


Menurut Dwikorita, secara umum, Indonesia turut merasakan dampak menghangatnya suhu bumi dalam lima bulan yang dimulai sejak Juni hingga Oktober 2023. Namun, berdasarkan data BMKG, suhu maksimum di Indonesia pada periode tersebut mencapai 38 °C. Hal tersebut disebabkan karena 60 persen luas area Indonesia adalah laut dengan atmosfer yang relatif lembap, sehingga menjadi penyangga kenaikan temperatur.


"Namun bukan berarti masyarakat Indonesia bisa tenang-tenang dalam menghadapi perubahan iklim. Dampak perubahan iklim seyogianya sangat bisa dirasakan pada hari-hari ini. Fenomena El Nino yang terjadi pada beberapa bulan terakhir mengakibatkan musim kemarau lebih kering dari biasanya. Akibatnya, kekeringan terjadi di banyak wilayah Indonesia," jelasnya.


Ia mengungkapkan bahwa akibat perubahan iklim secara global akan mengakibatkan zona-zona global water hotspot atau zona kekeringan. Sehingga perubahan iklim memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah langka dan menghasilkan apa yang dikenal sebagai zona kekeringan.


"Jika ditelaah lebih dalam, potensi water hotspot di Indonesia tidak akan separah wilayah negara lain karena pada dasarnya Indonesia memiliki luas lautan yang sangat cukup. Namun, perlu dipahami sumber daya kehidupan masyarakat Indonesia mayoritas berada di darat dan bukan di laut. Sehingga hal ini perlu diantisipasi secara matang," ujarnya.


Ia menjelaskan bahwa zona kekeringan akan berpengaruh pada ketahanan pangan. Organisasi Pangan Dunia (FAO) pun memprediksi pada pertengahan abad ini atau saat Indonesia memasuki masa emas akan terjadi krisis pangan di mana lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80% stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim.


"Kita harus mulai berpikir bagaimana sumber daya kehidupan itu lebih banyak di laut karena relatif kurang terdampak. Kalau di darat semakin merah, semakin oranye seperti saat ini berarti kerentanannya cukup tinggi," pungkasnya.