Nasional

Buang Karakter Menjatuhkan Orang Lain, Pacu Diri Tingkatkan Potensi

Kam, 3 Agustus 2023 | 15:00 WIB

Buang Karakter Menjatuhkan Orang Lain, Pacu Diri Tingkatkan Potensi

Ilustrasi: Karakter bersaing dengan sehat dan tidak menjatuhkan orang lain perlu diterapkan kepada siswa sejak dini (Foto: NU Online/Freepik)

Yogyakarta, NU Online 
Disadari atau tidak, sering terdengar di masyarakat Indonesia adanya orang yang iri dengan prestasi atau raihan orang lain, sehingga orang yang iri bertindak menjatuhkan. Demikian juga sikap mengeluh dan berlarut-larut dalam kegagalan, kerap dijumpai di masyarakat Indonesia.


Direktur Direktorat Kebijakan Pembangunan Manusia, Kependudukan dan Kebudayaan, Deputi Kebijakan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Anugerah Widiyanto mengatakan hal-hal seperti itu sebenarnya tanda karakter yang tidak baik. Orang yang ingin lebih maju, kata Anugerah, seharusnya berfokus pada prestasi yang lebih baik bukan menjatuhkan orang lain.


Saat mengisi Seminar Indeks Karakter Siswa Tahun 2023, di Hotel Sahid Jaya Yogyakarta, Rabu (2/8/2023), Anugerah menceritakan dirinya juga sempat heran dan kecewa karena bertahun-tahun tetap di golongan 3A di tingkat kepegawaiannya sebagai ASN. Memilih tidak memprotes pihak mana pun, ia tetap fokus pada kinerja dan peningkatan dirinya.


“Saya tidak berpikir untuk misalnya menggugat pihak tertentu tapi memilih disiplin dan meningkatkan diri. Akhirnya sekarang sudah golongan 4E (golongan terakhir di kepegawaian ASN),” ujarnya.


Anugerah yang sempat menempuh pendidikan dan tinggal di Jepang, mengatakan karakter menjatuhkan orang lain tidak dimiliki warga Jepang. Warga Jepang justru berkolaborasi dengan kemampuan mereka masing-masing untuk menciptakan prestasi dan sesuatu yang lebih baik.


Selain membuang karakter menjatuhkan orang lain, menurut Anugerah masyarakat Indonesia juga perlu membangun hal-hal positif saat misalnya menghadapi masalah atau kegagalan. 


“Saya kalau lagi marah pada istri saya, kalau memikirkan kejelekan istri ya pasti tambah marah. Tapi kalau lagi marah pada istri misalnya, saya ingat kebaikan-kebaikannya, pasti akan mereda dan pikiran jadi positif,” dia menggambarkan.


Pada kegiatan yang diadakan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagaamaan, Badan Penelitian Pengembangan, Pendidikan dan Latihan (Litbang Diklat) Kementerian Agama itu, Anugerah meneruskan karakter tersebut harus dibiasakan kepada siswa sejak dini. Berpikir positif dan tidak menjatuhkan orang lain dapat dibangun misalnya dengan mengadakan lomba yang semua pesertanya diapresiasi, tidak ada yang merasa jadi pemenang tapi yang lain merasa kalah dan gagal. 


“Di Jepang anak-anak diajak mengikuti lomba dan semuanya dapat hadiah,” ungkapnya. Di samping itu, di Jepang tidak ada siswa yang tidak naik kelas. “Semua siswa tidak ada yang tidak naik kelas setiap tahunnya. Misalnya siswa usia 9 tahun harus kelas tiga Sekolah Dasar ya mereka yang usia 9 tahun pasti sudah kelas 3,” kata Anugerah. 


Dalam hal tugas sekolah (dalam hal ini madrasah dan pendidikan keagamaan) menciptakan karakter yang baik, sebetulnya dapat menerapkan standar input calon siswa agar out put-nya dapat diraih.

 

Dia mengatakan di kampus-kampus luar negeri, jika menerima dengan standar yang tinggi, lulusnya mudah. Sebaliknya, jika input mahasiswanya mudah, lulusnya susah. “Kalau masuknya gampang, keluarnya susah. Kalau masuknya susah lulusnya mudah,” ujarnya.