Nasional

Cerita Penyintas Covid-19 di Ruang Isolasi: Hilangkan Jenuh dan Cemas dengan Menulis

Ahad, 4 Oktober 2020 | 02:30 WIB

Cerita Penyintas Covid-19 di Ruang Isolasi: Hilangkan Jenuh dan Cemas dengan Menulis

Laeli mengakui bahwa selama di ruang isolasi itu, ia hanya bisa menulis dan menumpahkan keresahan di dinding facebook. Sebab membaca atau menonton apa pun, sama sekali tidak bisa membuat dirinya bahagia. (Foto: FB Laeliya Almuhsin)

Jakarta, NU Online

Nur Laeliyatul Masruroh, seorang perempuan penyintas Covid-19 telah menumpahkan berbagai kecemasan, rasa bosan, dan bahkan ketakutan di media sosial. Semua orang bisa membaca tulisan-tulisan menyentuh sekaligus inspiratif dari Laeli.


Kepada 164 Channel, pemilik nama lain Laeliya Almuhsin ini menceritakan kembali bagaimana proses perjalanannya sejak awal. Dari pertama ia dinyatakan positif. Bahkan penuturan Laeli yang disiarkan secara langsung pada Jumat (2/10) sore, dimulai dari dirinya saat mengalami anosmia atau kehilangan kemampuan mencium bau dan merasakan aroma. 


Tulisan pertama Laeli di facebook berjudul ‘Hidup tanpa Aroma’ yang diunggah pada 12 September 2020 yang menjadi hari keenam ia tak bisa mengenali rasa pada apa pun. Sebelumnya, sejak 3 September lalu ia sudah mengalami demam selama tiga hari.


“Saya sempat demam tapi tidak tinggi. Badan hangat tiga hari. Tetapi saat itu bersamaan juga dengan haid. Jadi saya tidak menyangka kalau itu ternyata demam gejala Covid-19. Saya pikir badan saya hanya tidak enak karena haid saja. Tapi di hari keempat (setelah tiga hari demam) saya membaik,” tutur Laeli, membuka pengisahannya kepada 164 Channel.


Keesokan harinya, 7 September 2020, Laeli berangkat ke kantor. Di sana, ia mulai mengalami anosmia karena tak bisa sama sekali mencium aroma kopi. Kemudian Laeli mencicipi kopi itu. Namun rasanya sangat hambar, tidak terasa pahit atau manis.


“Saya pikir, saya lupa memberi gula karena tidak manis. Jadi kopi itu tanpa rasa dan tanpa bau. Tapi saat itu saya belum sadar (kalau ini gejala Covid-19),” tukasnya.


Tak hanya sampai di situ, Laeli juga merasakan hal lain. Di hari ketiga sejak minum kopi, 10 September 2020, ia tak bisa mencium aroma sabun mandi. Semula, ia justru berpikir bahwa sabun itu memang sudah tidak wangi. Karenanya, ia mengganti dengan sabun yang baru.


“Tapi ternyata tetap tidak wangi. Saya makan pun tidak ada rasanya. Dari situ saya merasa bahwa telah kehilangan aroma secara total,” tuturnya.


Karena telah kehilangan aroma dan rasa, Laeli berkonsultasi ke dokter. Laeli mendapat informasi bahwa anosmia telah menjadi gejala awal dari Covid-19. Sejak itu, ia lantas menyiapkan mental jika suatu waktu divonis atau terkonfirmasi positif Covid-19.


Pada Jumat, 11 September 2020, ia menjalani tes swab di salah satu rumah sakit swasta di Kota Depok, Jawa Barat. Enam hari kemudian, 17 September 2020, hasilnya keluar. Laeli dinyatakan positif Covid-19. Ia menangis walau hanya sesaat. 


“Saya menangis sebentar padahal sudah menyiapkan diri dan mental. Saya jadi tersadar bahwa kapan pun kita bisa mati. Bahkan tidak terkena Covid-19 dan tidak ada apa pun kematian bisa datang kapan saja,” tutur Laeli, haru.


Dalam membangun mental, Laeli telah meyakinkan diri bahwa ia tidak memiliki penyakit penyerta. Ia merasa bahwa kemungkinan besar akan bisa bertahan melawan atau menghadapi virus mematikan ini. Sebelumnya pun, ia sudah frustrasi lantaran tidak bisa mencium aroma apa pun, sama sekali.


Laeli bertutur, ia pernah membaca studi atau penelitian yang mengungkapkan bahwa anosmia total bisa membuat seseorang frustrasi karena tidak bisa mencium dan merasai apa pun. Kala itu, terlebih saat dinyatakan Covid-19, perasaan Laeli bercampur-aduk. Sekalipun secara fisik terlihat sehat-sehat saja, tetapi sesungguhnya mental Laeli sudah hancur.


Sehari setelah melakukan tes swab dan dinyatakan positif Covid-19, pada Jumat 18 September 2020, Laeli ke RS Bhayangkara Brimob di Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat untuk menyerahkan hasil swab yang positif itu.


“Saya bersama supir di rumah. Jadi tidak telepon atau tidak dijemput ambulans,” jelas Laeli.


Setibanya di RS Bhayangkara, ia menyaksikan ekspresi petugas yang kaget karena ada orang positif Covid-19 yang kemudian menyerahkan sendiri hasil tes swabnya. Sebab biasanya, sesaat setelah hasilnya keluar dan positif akan langsung ada petugas yang pakai APD untuk menjemput. Namun berbeda dengan Laeli.


Setelah itu, ia diarahkan untuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) untuk ambil darah, rontgen, dan cek jantung. Di momen seperti ini, Laeli mulai merasa tidak karuan. Kepalanya sakit dan badang menggigil, bahkan hampir pingsan. Bersyukur, ia masih sanggup untuk bertahan.


Usai menanti selama sekira tiga jam karena proses administrasi, Laeli akhirnya mendapat kamar atau ruang isolasi yang sangat besar sekali. Selama belasan hari ke depan, ia hanya akan sendiri di dalam ruangan yang banyak instalasi seluas 7x9 meter itu. 


“Saya semakin cemas. Saya sendirian di sini. Diantar petugas yang memakai APD dan saya tidak melihat pasien lain. Setelah sampai, saya sering ditengok oleh perawat setiap beberapa jam sekali karena saya dalam keadaan drop, tidak enak badan. Bahkan malam-malam perawat mengecek keadaan saya,” kata Laeli.


“Menurut saya, keadaan ruangan itu kotor. Mungkin karena saya biasa di rumah itu harus bersih sampai tidak ada sedikit pun noda. Ada petugas kebersihan yang membersihkan kamar, dia takut sekali. Kemudian berjarak dan memakai APD. Dia membersihkan ruangan dengan sangat cepat,” tutur Laeli, menambahkan.


Laeli sempat keluar ruangan tetapi tidak melihat siapa pun di sana. Sesuatu yang ia lihat hanyalah pintu yang berlapis-lapis. Hal itulah yang kemudian membuat rasa cemas Laeli kian menjadi-jadi. Ia seperti merasa sedang berada di penjara. Kondisi fisik melemah dan mental semakin hancur.


Selama diisolasi itu, ia merasa sedang berinteraksi dengan keadaan yang sangat tidak normal karena tidak melihat orang lain dengan wajah terbuka. Semua serba tertutup, harus berjarak, mengenakan APD lengkap, dan memakai masker dengan rangkap tiga sekaligus.


“Ada perawat yang memeriksanya dari pintu. Jauh sekali. Ruang saya kan sekitar 7x9 meter. Besar sekali. Tetapi juga ada yang mendekat. Para petugas kesehatan, saya lihat, memang berbeda-beda dalam menghadapi pasien Covid-19,” ungkap Laeli.


Sebagian besar petugas kesehatan yang merawat Laeli selama di ruang isolasi, sangat merasa khawatir sehingga harus menjaga jarak sejauh mungkin. Namun ada juga yang biasa-biasa saja. Lambat-laun, ia memahami kalau para perawat itu memang harus menjaga jarak karena akan pulang dengan membawa resiko untuk keluarga di rumah.


“jadi saya sebenarnya tidak komplain tapi saya merasakan menjadi jauh sekali (dari kehidupan) pada saat itu,” ucap Laeli.


Menghilangkan kecemasan


Saban pagi tiba, ia pasti kehilangan suara. Tetapi jika sudah siang dan matahari mulai naik, Laeli kembali membaik. Ia akan berada pada kondisi prima hanya pada siang saat terkena sinar matahari dari balik jendela. 


“Sepanjang hari saya hanya membuat catatan di facebook karena saya tidak bisa berpikir apa pun lagi. Saya itu biasanya main Tiktok tapi pada saat di ruang isolasi itu saya tidak bisa. Saya tidak bisa tertawa. Menonton film komedi pun tidak sama sekali lucu. Tidak ada yang lucu,” katanya.


Jelang petang, perasaan cemas Laeli sangat meningkat. Sampai-sampai ia berharap agar matahari tidak tenggelam. Pada saat itu, perasaan dan badan Laeli mulai dingin serta kepala menjadi sakit. Sore, bagi Laeli, adalah sesuatu yang menjadi momok paling menakutkan.


“Saya selalu tidak bisa tidur. Kalau ingin tidur, saya menelepon dengan panggilan video ke teman saya. Saya meminta untuk (handphone) untuk terus dihidupkan sampai saya tidur. Sebab di sini tidak ada orang. Setiap malam saya kedinginan dan merasa cemas,” jelas Laeli.


Pesan untuk Masyarakat


Sejak awal, Laeli percaya terhadap keberadaan virus ini. Ia mengaku pula sebagai orang yang disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan. Sebab, siapa saja dari latar belakang apa pun pasti memiliki resiko yang sama untuk terkena Covid-19. 


“Saya tidak pernah merasa harus menyangkal atau menutupi saat saya dinyatakan positif. Bagi saya, kalau kena harus dihadapi. Saya sudah tahu resikonya seperti apa dan telah banyak contoh yang sudah sembuh. Di Indonesia sendiri, kematian hanya empat persen tapi lebih banyak yang sembuh dan bertahan,” ungkap Laeli.


Ia menambahkan dan menanggapi soal sikap masyarakat yang terkadang masih menganggap Covid-19 adalah aib. Karena merupakan aib, maka siapa pun yang terkena harus dijauhi dan dikucilkan. Demikian pandangan masyarakat yang hingga kini masih saja ada di tengah kehidupan.


“Saya kira, masyarakat yang masih menganggap Covid adalah aib karena kekhawatiran. Misal, jika seorang yang terkena Covid adalah seorang punya bisnis (jual makanan) sehingga tidak boleh berjualan di sana atau ada larangan agar tidak membeli di dia. Ada saja kan yang seperti itu,” tambah Laeli.


Ia memilih tidak menutupi saat positif Covid-19 karena bekerja tidak di sektor yang dapat mengubah kehidupan lingkungan terhadap dirinya. Beberapa orang yang terkonfirmasi Covid-19, kata Laeli, memilih untuk menutupi dari tempat kerjanya karena jika ketahuan akan berakibat dikenakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).


“Edukasi bahwa Covid-19 bukan aib karena dapat mengenai siapa saja dari latar belakang apa pun itu memang butuh proses,” ungkap Laeli.


Oleh karena itu, para penyintas Covid-19 tidak perlu malu. Bahkan harus berani bicara bahwa virus ini bisa mengenai siapa saja tanpa pandang bulu. 


“(Dan) kita bisa melakukan pencegahan agar jangan sampai terkena Covid-19. Kalau pun terkena kita harus hadapi ini karena Covid-19 bukan aib. Covid-19 ini sama seperti sakit lainnya. Hanya saja sekarang pandemi yang seluruh dunia sedang berjuang. Saat ini, justru kita seharusnya bisa saling menguatkan,” ucap Laeli.


Mendapat tawaran S2 di UI


Laeli mengakui bahwa selama di ruang isolasi itu, ia hanya bisa menulis dan menumpahkan keresahan di dinding facebook untuk mengusir rasa jenuh dan cemas. Sebab membaca atau menonton apa pun, sama sekali tidak bisa membuat dirinya bahagia.


Suatu ketika, salah seorang dosen di Universitas Indonesia membaca salah satu tulisan Laeli di facebook. Kepadanya, dosen itu mengatakan bahwa tulisan-tulisan keresahan Laeli itu cocok untuk kebutuhan penelitian etnografi.


“Kata dosen itu, jadi ada baiknya nanti langsung riset tidak perlu kuliah. Jadi saya langsung bimbingan ke beliau. Alhamdulillah ada hikmah di balik musibah ini,” pungkasnya.


Pada Sabtu (3/10) pagi, di akun facebooknya, ia kembali mengunggah tulisan berjudul ‘Pulang dari Ruang Isolasi Covid-19’ yang disertai dengan video Laeli sedang beres-beres dan membawa koper besar. Kemudian ia menghadap ke kamera dan melambaikan tangan. Tak lama, ia lantas meninggalkan ruangan isolasi itu.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad