Nasional

Ciptakan Keadilan Gender, Lukman Saifuddin Harap Teks Agama Dipahami sesuai Konteks

Kam, 10 November 2022 | 15:00 WIB

Ciptakan Keadilan Gender, Lukman Saifuddin Harap Teks Agama Dipahami sesuai Konteks

Menag 2014-2019, H Lukman Hakim Saifuddin, Rabu (9/11/2022) di Jakarta mengatakan, satu cara menciptakan keadilan gender ialah memahami teks-teks keagamaan sesuai konteks kekinian. (Foto: NU Online/Aru Lego Triono)

Jakarta, NU Online

Menteri Agama RI 2014-2019, H Lukman Hakim Saifuddin berharap kepada seluruh pihak, terutama para tokoh agama untuk mampu menciptakan keadilan dan kesetaraan berbasis gender, sehingga tidak menjadikan perempuan sebagai objek intimidasi. Salah satu caranya, Lukman berharap, teks-teks keagamaan dipahami harus sesuai dengan konteks kekinian. 


Hal itu disampaikan Lukman saat menjadi narasumber dalam bahtsul masail yang digelar Yayasan Puan Amal Hati bertema Meningkatkan Keterlibatan Lelaki dalam Upaya Mencapai Kesetaraan dan Keadilan Gender. Kegiatan berlangsung di kediaman Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, di Ciganjur, Jakarta Selatan, pada Rabu (9/11/2022). 


Ia menyebut, tema bahtsul masail yang diangkat Nyai Sinta Nuriyah itu sangat penting untuk dibahas. Sebab selama ini, terdapat banyak temuan praktik yang membuat perempuan dikelasduakan, mengalami perlakuan diskriminatif dan ketidakadilan. Menurut Lukman, laki-laki harus terlibat di dalam menghentikan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. 


Lukman mengingatkan soal inti pokok ajaran agama yang hakikatnya adalah memanusiakan manusia, dan perempuan merupakan bagian dari manusia itu sendiri. Karena itu, kalau ada teks-teks keagamaan yang mengesankan tafsir seakan-akan perempuan mengalami perlakuan diskriminasi maka harus dilakukan penafsiran ulang. 


"Kalau ada teks-teks keagamaan yang bisa mengesankan terjemahan atau tafsir bahkan takwil bahwa perempuan itu mengalami diskriminatif, maka perlu ada reinterprestasi atau tafsir ulang bagaimana mengontekstualisasikan teks-teks itu sesuai dengan situasi dan kondisi kita saat ini," ungkap Lukman kepada NU Online.


Inti pokok ajaran agama yang memanusiakan manusia itu, menurut Lukman, harus menjadi acuan utama dalam menafsirkan teks keagamaan. Sebab agama mengarahkan umat manusia agar mampu mewujudkan perdamaian, kemaslahatan, dan menebarkan kasih sayang yang bermuara kepada prinsip memanusiakan manusia.


"Oleh karenanya, setiap kali ada tafsir apalagi amalan praktik-praktik ketidakadilan terhadap perempuan, tentu kita harus kembali pada inti pokok ajaran Islam itu sendiri," tegas penggagas Moderasi Beragama itu. 


Ia menegaskan bahwa setiap teks memiliki konteksnya masing-masing, lalu setiap konteks akan melahirkan terjemahan dan tafsir yang beragam, sehingga tidak pernah ada tafsir tunggal, terhadap teks-teks Al-Qur’an, hadits, atau kitab kuning yang menjadi rujukan umat Islam. 


"Karenanya, terhadap keragaman ini yang penting kita tidak saling menyalahkan antar satu tafsir dengan tafsir yang lain, antara satu pandangan dengan pandangan yang lain, karena masing-masing memiliki konteksnya," ungkap Lukman. 


Sebagai contoh, kalau zaman dulu para ulama memiliki pandangan yang dinilai pada konteks sekarang ini dirasa menimbulkan ketidakadilan, maka sebenarnya bukanlah ketidakadilan itu yang ditonjolkan.


"Tapi karena ketika itu, abad pertengahan misalnya, memang situasi dan kondisi budaya, ruang lingkup, dan ekosistem yang ada pada saat itu membuat para ulama melahirkan fatwa atau pandangan-pandangan keagamaan yang kalau dinilai dalam konteks kekinian, boleh jadi sudah tidak relevan dan tidak lagi memiliki kesesuaian," imbuh Lukman.


Karena itu, tafsir harus terus senantiasa terkontekstualisasi dengan situasi dan kondisi yang terus berkembang. Namun pada prinsipnya, masing-masing pihak harus saling menghargai dan menghormati terhadap keragaman tafsir sehingga perlu ada kompetisi wacana di ruang publik. Sebagaimana yang diungkap Al-Qur’an, fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan). 


Sebelumnya, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa pemenuhan hak perempuan di ruang publik adalah bagian dari ajaran Islam. Ia kemudian mendorong para kiai atau ulama laki-laki untuk mendukung hak-hak perempuan di ruang publik.


Ia mengingatkan soal pentingnya penguatan keterlibatan para kiai atau ulama laki-laki dalam mendukung peran dan hak-hak perempuan di ruang publik. Hal ini penting disuarakan karena menghormati perempuan adalah bagian dari ajaran Islam.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan