Nasional DISKUSI DAN BEDAH BUKU

Dari Mana Islam Indonesia Berasal?

Sel, 30 April 2013 | 13:01 WIB

Cirebon, NU Online
Beragam teori menggambarkan Islam datang ke Indonesia (waktu itu disebut Nusantara). Tiga teori mengatakan, pertama, Islam datang dari Gujarat, India, sekitar abad ke-13. Kedua, Islam dari Timur Tengah sekitar abad ke-7 Masehi. Ketiga, Islam dari para pedagang Tiongkok, Cina, sekitar abad ke-14 Masehi.
<>
Semua teori disertai dengan pelbagai bukti yang kuat, seperti terdapatnya situs makam-makam tua dan arsitektur bangunan yang menunjukkan budaya di mana negara itu berasal.

Teori kedatangan Islam tersebut, kembali dibahas pada diskusi dan bedah buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat di gedung NU Center Sumber, Cirebon, pada Senin (29/4).

Pada kesempatan itu, Prof. Dr. Martin van Bruinessen, penulis buku tersebut mengatakan, Islam Indonesia berasal dari suku Kurdi di Turki.

Martin mengatakan, kemungkinan-kemungkinan tersebut, saat ditilik dari mayoritas corak keislaman Indonesia sepanjang sejarahnya, maka tidak menutup kemungkinan juga bahwa Islam datang dari Kurdi, sebuah komunitas di Kurdistan yang meliputi kawasan Irak, Iran, Syiria, dan Turki.

Hal ini ditunjukkan saat menemukan beberapa kesamaan antara alur sejarah pesantren sebagai basis penyebaran Islam yang tertua, dengan budaya keagamaan yang terdapat di jazirah Kurdi tersebut, salah satunya adalah tarekat.

Peneliti pesantren dan tarekat dari Universiteit Utrech, Belanda ini mengatakan, “Proses Islamisasi tidak bisa dilihat dari satu peristiwa, karena prosesnya yang panjang. Maka tidak menutup kemungkinan jika saya memunculkan sejarah awal mula kedatangan Islam berasal dari Kurdi, saat melihat beberapa kesamaan budaya keagamaan yang ditemukan di pesantren dan negeri asalnya, seperti tarekat dan lain-lain,” katanya.

Berbeda dengan Martin, KH Husein Muhammad, salah seorang narasumber, membagi kecenderungan corak pemikiran muslim Indonesia menjadi dua kelompok. Yang pertama dan terbanyak, adalah Syafi’i Iraqy dan berikutnya adalah Syafi’i Khurosani.

“Saat melihat corak pemikiran Muslim di Indonesia, saya bisa menemukan dua alur yang berbeda, yakni Syafi’i Iroqy yang bermuatan fiqih, tekstualis, dan mistis, serta Syafi’i Khurosani, sebuah keilmuan murni yang mendeskripsikan dengan basis realitas, sehingga memperbandingkan satu sama lainnya antara kuat-lemah, salah-benar,  jarang  muncul di dalamnya,” jelas Kiai Husein.

Hal tersebut ditambahkan Prof.Dr. KH Chozin Nasuha, Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon. Dia menagatakan, bahwa kecenderungan tradisi berpikir Muslim di Indonesia memang berbasis pada beberapa titik, yakni bayan yang bersifat tekstualis, irfani yang bersifat rasionalis, dan waqi’ie yang bersifat riset. Yang terakhir ini kurang begitu diusung secara keumuman.

Pada sesi berikutnya, disambut dengan pelbagai pertanyaan dan pernyataan peserta, di antaranya, hasil penelitian ini bisa dijadikan pelajaran dan semacam tamparan kecil bagi peneliti Muslim di Indonesia sendiri.

Pasalnya, peneliti negara lain lebih berminat untuk menghabiskan waktunya untuk meneliti kekayaan khazanah keilmuan Islam di Indonesia, di sisi lain muncul juga spekulasi apakah Islam Indonesia yang bermula dari Kurdi, atau tradisi Kurdi yang terpengaruh budaya Islam di Indonesia, mengingat kurang terdapatnya bukti-bukti fisik yang mendukung teori ini seperti tiga alur kedatangan Islam di Indonesia yang biasa dibaca oleh umat muslim di Indonesia.

Diskusi yang digelar atas kerjasama Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon ini, dihadiri tiga ratusan peserta. Secara umum peserta merupakan para pengurus NU dari pelbagai lapisan; tokoh pesantren, peneliti muslim, budayawan, mahasiswa, dan santri.


Redaktur          : Abdullah Alawi
Kontributor      : Sobih Adnan
   Â