Nasional

Dialog Global AICIS 2024 Gali Solusi Krisis Kemanusiaan melalui Peran Agama

Jum, 2 Februari 2024 | 18:00 WIB

Dialog Global AICIS 2024 Gali Solusi Krisis Kemanusiaan melalui Peran Agama

Salah satu sesi dalam Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), Kamis (1/2/2024) di UIN Walisongo Semarang Jawa Tengah (Foto: NU Online)

Semarang, NU Online​​​​​​
Salah satu yang menjadi tema dalam Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2024 adalah mendefinisikan ulang peran agama dalam mengatasi krisis kemanusiaan: Menghadapi Isu Perdamaian, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia.

 

Dalam sesi ini dihadirkan sejumlah akademisi internasional yakni Antropolog dari New York University Prof Ismail Fajrie Alatas; Peneliti Muslim dari University Berlin, Prof Claudia Saise; Rektor UIN Walisongo, Prof Abdul Djamil; dan Prof Hassanein Al-Saeed Hassanein Ahmed dari Suez Canal University.

 

Ismail Fajrie Alatas, Antropolog dari New York University menggaris bawahi pentingnya penggunaan bahasa abstrak untuk merekonstruksi dunia sebagai respons terhadap krisis kontemporer. Menurutnya, pemahaman bahasa abstrak membuka pintu solusi bagi banyak krisis yang dihadapi manusia saat ini, dengan fokus pada tradisi belajar hidup melalui bahasa, terutama bahasa Al-Qur'an.

 

Claudia Seise, peneliti Muslim dari Humboldt University Berlin, menggambarkan sejarah Islam yang indah, menyoroti keterhubungan agama Islam di seluruh dunia dari masa lalu hingga kini. 

 

Dia menekankan perlunya lebih banyak suara untuk memperkenalkan warisan Muslim dari mereka yang mengaku Muslim pinggiran, dengan mengeksplorasi dakwah walisongo, budaya silaturahim yang ada.

 

"Khusus dari tempat-tempat inilah kita bisa mengambil inspirasi bagi umat Islam dan komunitas non-Muslim di dunia politik dan budaya Barat, apa pun arah geografisnya," ungkap Claudia dalam sesi panel 1 di Auditorium 2 UIN Walisongo Semarang.

 

Sementara itu Rektor UIN Walisongo, Prof Abdul Djamil, menjelaskan perkembangan kebijakan harmoni agama sejak tahun 1970 yang melibatkan komunitas internal dan pengadilan agama. Tantangan muncul dari konflik internal antara kelompok agama, seperti Ahmadiyah dan Syiah, serta insiden di Pandeglang, Banten, dan Sampang, Madura.

 

Meskipun diinisiasi program moderasi keagamaan untuk menciptakan kedamaian, serangan bom di Surabaya pada Mei 2000 menunjukkan bahwa tantangan masih ada. 

 

Sebuah pertanyaan muncul, mengapa Konflik internal seperti perbedaan pemahaman antara Ahmadiyah dan Sunni terus berlangsung. Bagaimana Indonesia menghadapi tantangan keberagaman dalam era digital?

 

Ia menekankan pentingnya dialog dan pengertian antaragama untuk menjaga keharmonisan bangsa. "Saatnya bersama-sama menciptakan perspektif dan konsep humanisme yang memperkuat ikatan solidaritas di antara kita," terangnya.