Nasional

Regulasi dan Pemahaman yang Lemah Sebabkan Konflik Pendirian Rumah Ibadah

Kam, 2 Maret 2023 | 21:00 WIB

Regulasi dan Pemahaman yang Lemah Sebabkan Konflik Pendirian Rumah Ibadah

Ketua FKUB Provinsi Lampung, H Mohammad Bahruddin mengatakan konflik pendirian rumah ibadah disebabkan masih lemahnya pemahaman masyarakat dan lemahnya regulasi yang ada. (Foto: Tangkapan layar Youtube TVRI)

Bandarlampung, NU Online
Sampai dengan saat ini, masih ditemukan berbagai macam masalah di tengah-tengah masyarakat terkait dengan konflik pendirian rumah ibadah maupun penggunaan tempat untuk kegiatan beribadah. Jika diurut akar masalahnya, konflik ini bersumber dari dua hal, yakni lemahnya pemahaman masyarakat dan lemahnya peraturan atau regulasi yang ada.


Hal ini diungkapkan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Lampung H Mohammad Bahruddin saat ditanya wartawan tentang penyebab konflik terkait rumah ibadah yang terjadi di Lampung dan menjadi sorotan nasional akhir-akhir ini.


"Masyarakat kita dari berbagai kelompoknya masih sangat minim pemahamannya tentang pelaksanaan ajaran agama termasuk dalam hal ini adalah tentang pendirian rumah ibadah," ungkapnya.


Bukan hanya masyarakat secara umum, menurutnya lemahnya pemahaman ini juga terjadi pada tokoh agama dan majelis-majelis agama. "Sampai aparat keamanan pun masih sangat minim," ungkapnya pada sebuah tayangan di kanal Youtube TVRI, Kamis (2/3/2023).


Jika pemahaman terhadap aturan saja lemah, maka menurutnya akan sulit untuk dapat melaksanakan aturan tentang rumah ibadah ini. 


Lemahnya regulasi tentang pendirian rumah ibadah juga menjadi faktor munculnya konflik. Saat ini payung hukum yang digunakan untuk pendirian rumah ibadah adalah Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9/8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.


"Itu (peraturan Menteri) bukan Undang-Undang. Dia lemah dari sisi regulasi dan di situ juga tidak ada sanksi apapun. Kalau aturan tidak ada sanksi, ya sangat-sangat fleksibel dan elastis," ungkap Akademisi UIN Raden Intan Lampung ini.


Pada kesempatan tersebut, ia juga mengungkapkan bahwa aturan-aturan kuantitatif dalam PBM bukanlah segala-galanya. Disebutkan bahwa dalam pendirian rumah ibadah harus mendapatkan dukungan pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang dan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang 


Menurutnya lebih baik mengeluarkan izin pembangunan rumah ibadah berdasarkan tingkat urgensinya. "Artinya, memang faktanya umatnya sedikit, kenapa harus dipaksakan jumlah harus 90 orang," ungkapnya. 


Terkait dengan peraturan ini, ia pun mengusulkan kepada pemerintah dan DPR untuk memperkuat payung hukum tentang hal ini di antaranya dengan membuat undang-undang organik dari pasal 29 UUD 45 yang merupakan penjabaran langsung dari delegasi pengaturan yang disebut secara eksplisit.


Pewarta: MUhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan