Nasional

Kisah Umat Budha dan Hindu di Gampong Peunayong dan Gampong Keudah, Kampung Kerukunan di Banda Aceh

Sel, 1 November 2022 | 18:30 WIB

Kisah Umat Budha dan Hindu di Gampong Peunayong dan Gampong Keudah, Kampung Kerukunan di Banda Aceh

Salah satu aktivitas warga di kampung keberagaman Gampong Peunayong, Banda Aceh. (Foto: acehprov.go.id)

Banda Aceh, NU Online

Wajah kerukunan masyarakat Aceh antara lain tampak di Gampong (Kampung) Peunayong. Tahun 2019, Gampong Peunayong ditetapkan sebagai Kampung Sadar Kerukunan oleh Kementerian Agama. Ini merupakan kampung kedua di Banda Aceh yang menjadi wilayah percontohan dalam kerukunan umat beragama bagi warganya.


Provinsi Aceh yang kental dengan penerapan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari tidak dirasakan sebagai sebuah ancaman bagi Yuswar, tokoh agama Buddha beretnis Tionghoa di Gampong (kampung) Peunayong, Banda Aceh. Yuswar sendiri menegaskan bahwa dirinya asli orang Aceh karena lahir di Aceh dari keturunan Tionghoa.


“Saya keturunan Tionghoa, tapi saya adalah orang Aceh. Dari berpuluh tahun lalu saya tinggal di sini, belum pernah mendapatkan masalah dalam melaksanakan ibadah. Kami hidup rukun. Meskipun Aceh didominasi warga muslim, tapi kami sangat nyaman berada di sini," ungkap Yuswar dalam wawancaranya dengan Humas Kementerian Agama pada 21 September 2021 lalu.

 

Ia menceritakan bahwa kakek dan neneknya sudah tinggal di Aceh sejak tahun 1910. Yuswar sendiri lahir pada tahun 1950. Selama lebih dari 70 tahun hidup di Aceh, ia merasakan betul kerukunan umat beragama, khususnya bagi etnis Tionghoa.


Pada acara tahun baru Imlek misalnya, Yuswar dan masyarakat Tionghoa beribadah dan membuat kegiatan. Banyak warga Muslim yang datang ke daerah sekitar vihara. Tapi kedatangan mereka bukan untuk mengganggu ibadah warga Tionghoa. "Warga sekitar mungkin ingin tahu bagaimana kami beribadah, bagaimana kami merayakan hari raya dan itu merupakan kehormatan bagi kami," ungkap Yuswar.

 

Dia menceritakan ketika Aceh dihantam tsunami tahun 2004 silam. Warga Tionghoa secara suka rela menjadikan Vihara sebagai tempat penampungan barang-barang bantuan untuk korban tsunami. Di Vihara tersebut juga didirikan dapur umum untuk memenuhi kebutuhan para korban dan pengungsi.


Awalnya, ada kekhawatiran warga Muslim terkait kehalalan makanan yang dimasak di dapur umum tersebut. Namun, Yuswar dan kawan-kawan meminta bantuan warga sekitar dari kalangan Muslim sendiri untuk memasak.


"Kami juga menyadari mungkin ada kekhawatiran masyarakat sekitar untuk memakan makanan yang kami masak, karena mungkin kehalalannya. Maka dari itu, kami meminta warga sekitar yang muslim untuk memasak agar semua warga dapat menikmati makanan yang berasal dari Vihara ini," jelas dia.


Di tengah pemberlakuan hukum syariat Islam di Aceh, Yuswar mengaku tidak terganggu di kebijakan pemerintah Aceh tersebut. Karena tidak ada paksaan dan warga non-Muslim bisa memilih mau dihukum menurut KUHP atau hukum jinayat ketika melanggar hukum.


"Kami umat non-Muslim tidak pernah merasa terganggu oleh hukum ini. Memang dalam aturannya, hukum Jinayat itu berlaku juga non-muslim, bagi yang mau. Jadi warga non-Muslim bisa memilih akan dihukum dengan hukum KUHP atau dengan hukum Jinayat. Perlu saya tekankan, pemberlakuan hukum ini bagi non-Muslim tidak ada paksaan. Semua pelanggar ditanya akan dihukum dengan cara apa," ungkap Yuswar.

 

Dia menegaskan, warga non-Islam mendukung kearifan lokal yang dibuat oleh pemerintah dan tidak ada paksaan. "Bahkan, saat pembahasan tentang ini, kami warga non-muslim turut diundang untuk ditanyai pendapatnya," jelas Yuswar.


Dia menjelaskan bahwa kampung tempat tinggalnya itu menarik. Karena di kampung ini bisa melihat beberapa rumah ibadah dengan agama berbeda-beda. Ada beberapa masjid, beberapa gereja, beberapa vihara, juga kuil. Masyarakat juga hidup berdampingan, meskipun memiliki keyakinan yang berbeda.


Model kampung kerukunan umat beragama di Aceh bukan hanya di Gampong Peunayong, tetapi juga di Gampong Keudah, Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh. 


Salbidah Liana dalam Kerukunan Umat Islam, Hindu, dan Budha di Gampong Keudah Banda Aceh (2016) menjelaskan bahwa kondisi kerukunan umat beragama berlangsung baik. Hal ini ditandai dengan tidak adanya keributan antar umat beragama, baik itu dalam kehidupan sehari-hari dalam beraktivitas maupun dalam hal lain.


Masyarakat di Gampong Keudah ini sangat rukun, baik itu Muslim dan non-Muslim. Di Gampong Keudah ini bermacam penganut agama, semuanya mengutamakan kerukunan, agama tidak menjadi pemicu untuk kericuhan semua agama mengajarkan hidup rukun. Misalnya dalam hal pemilihan perangkat desa semua umat dikaitkan dalam pemilihan untuk memutuskan siapa yang berhak dipilih dan dijadikan sebagai perangkat desa.

 

Hidup berdampingan dengan berbeda agama, masyarakat di Gampong Keudah sangat mengutamakan kerukunan, aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Gampong Keudah yaitu sesuai dengan keyakinannya asalkan tidak melanggar dari aturan pemerintah dan aturan yang berlaku di Gampong Keudah tersebut.


Agama tidak menjadi penghalang untuk berhubungan dalam hal komunikasi dan berbagi pemikiran dalam hal yang tidak dilarang dalam agama, dalam setiap agama masing-masing sudah mempunyai aturan dalam berhubungan dengan agama lain jadi mereka tidak merasa takut dalam berhubungan dengan umat beragama lain yang penting batasnya dijaga.


Gampong Keudah merupakan gampong yang diduduki dengan keragaman agama yang berbeda-beda, meskipun masyarakatnya mayoritas Muslim akan tetapi tidak menjadi suatu persoalan atau ketakutan bagi umat non-Muslim yang sangat minim. Umat Muslim di Gampong Keudah sangat menghargai masyarakatnya yang berbeda keyakinan, hidup berdampingan walaupun berbeda agama tidak menjadi masalah, asalkan masing-masing agama tidak mengganggu agama lain.


Dalam kehidupan sosial, masyarakat Gampong Keudah dari berbagai agama saling bahu-membahu dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong royong, membersihkan desa dan lain sebagainya. Masyarakat di Gampong Keudah juga masih menjaga rasa solidaritas yang tinggi dan toleransi yang cukup baik.


Solidaritas yang tinggi ditunjukkan dalam proses tolong-menolong atau membantu bila ada umat yang berbeda agama mendapatkan musibah. Baik itu meninggal maupun sakit. Apabila ada umat Hindu dan Budha meninggal, umat Muslim juga turut takziah. Begitu juga sebaliknya, jika ada umat Muslim yang terkena musibah, masyarakat Hindu dan Budha turut berduka dan bertakziah.


Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan

 

===================
Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI