Nasional

Diprediksi 2070 Islam Jadi Mayoritas Agama Dunia, Islam ala NU Jadi Harapan

Sab, 14 September 2019 | 15:00 WIB

Diprediksi 2070 Islam Jadi Mayoritas Agama Dunia, Islam ala NU Jadi Harapan

Sejarahwan Islam Nusantara Zainul Milal Bizawie saat menjadi narasumber pada studium general Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Jumat (13/9). (NU Online/Syakir NF)

Jakarta, NU Online
Salah satu lembaga riset di Amerika Serikat menyebut Islam akan menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk dunia pada tahun 2070 mendatang. Hal demikian mengartikan bahwa Islam menjadi penentu masa depan peradaban dunia.

“Kalau saya sih sangat senang kalau nanti yang akan berpengaruh di dunia ini adalah Islam NU,” ujar Pendeta Franky Tampubolon saat studium general Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta di gedung Unusia lantai 4, Jalan Taman Amir Hamzah, Pegangsaan, Jakarta, Jumat (13/9).

Pasalnya, sampai hari ini, kita melihat masih ada kekejaman dan kekerasan yang dimunculkan oleh sekelompok Islam di Timur Tengah, khususnya khususnya ISIS, yang menggambarkan peradaban sudah terjadi.  “Teman-teman di Eropa muncul islamofobia karena ada kekerasan yang terjadi dan itu menyebar,” katanya. 

Ia mengungkapkan bahwa di mana ada peradaban, di situ ada intelektualitas. Hal itu ada di Eropa, di Mesir, di Filipina juga sejak 400 tahun lalu sudah ada kampus. Bahkan, lanjutnya, ada universitas yang sudah usianya lebih dari 1000 tahun lalu di Indonesia, yaitu Universitas Sriwijaya yang menjadi destinasi belajar tentang Buddha. 

“Hari ini, kita menunggu (Islam) kalau bisa menyusun ini harus punya target. Kita berharap 2070 dunia ini akan dipenuhi oleh peradaban Islam kita berharap Islam yang seperti kita ini, Islam yang ramah,” pungkasnya.

Mendapat pertanyaan demikian, Sejarahwan Islam Nusantara Zainul Milal Bizawie menarik jauh ke zaman Nabi Muhammad SAW lebih dahulu. Ia mengatakan bahwa dahulu, Nabi pernah bersabda bahwa nanti akan ada seorang panglima yang paling hebat dan paling luar biasa yang itu menjadi panglimanya umat Islam. Strateginya, katanya, lintas zaman. Dialah seorang penakluk Konstantinopel, yakni Al-Fatih. 

Menurutnya, Al-Fatih sudah memikirkan bahwa era dinasti bakal runtuh di kemudian hari. Karenanya, ia mengantisipasi keruntuhan itu dengan menyiapkannya sedini mungkin dengan melakukan kebijakan pengiriman ulama-ulama ke luar Timur Tengah. “Maka dikirimlah Bani Abdul Malik dari Naserabad termasuk Syekh Jumadil Kubro dan keluarganya dikirim ke Nusantara,” ujarnya.

Dan ketika Turki Utsmani runtuh, para ulama penerus Wali Songo menyambutnya dengan matang dan meneruskan zaman keemasan itu. “Memperjuangkan keilmuannya, peradaban, dan lain-lainnya. Mas Ginanjar (pengajar Fakultas Islam Nusantara Unusia) juga menemukan kurikulum yang diajarkan di Utsmaniyah itu sama dengan kurikulum yang diajarkan di pesantren-pesantren di Nusantara,” katanya.

Para ulama Nusantara yang juga keilmuannya berasal dari para ulama Timur Tengah yang dikirim oleh Al-Fatih itu tidak memperjuangkan khilafah. “Meskipun ada (orang dan kelompok) yang ingin meneruskan politiknya, tetapi tidak berhasil. Sementara Nusantara dengan kurikulum dan tradisinya masih banyak dan hingga saat ini selain meninggalkan keilmuan, kelebihan Nusantara ini umatnya masih ada,” ungkapnya. 

Hal itu berbeda dengan kondisi di Andalusia yang dulu begitu hebat memunculkan para ulama yang ahli berbagai bidang keilmuan, seperti Ibnu Arabi dan Ibnu Rusyd, tetapi masyarakatnya saat ini sudah tidak ada. “Sementara di kita, masyarakatnya masih ada, ulamanya masih ada, lengkap semuanya,” jelasnya.

Kemunculan Islamofobia saat ini di berbagai belahan dunia, menurutnya, karena belum melihat Islam ala Indonesia. “Munculnya Islamofobia itu kan dari kekerasan, saya kira kalau ada umat melihat Islam di Indonesia saya kira justru malah senang seperti Pendeta Franky juga,” terang penulis buku Jejaring Ulama Diponegoro itu.

Menurutnya, saat ini, NU punya tantangan besar dengan munculnya populisme Islam. Sebab, gerakan tersebut tidak hanya berdiri sendiri, tetapi mereka juga ditunggangi oleh orang ataupun kelompok yang ingin memiliki kekuasaan.

Oleh karena itu, Unusia, katanya, harus hadir untuk membangun basis keilmuan Islam Nusantara. Sebab, frasa tersebut (Islam Nusantara) ketika dicetuskan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat Muktamar ke-33 Tahun 2015 di Jombang baru sebagai slogan politik. “Secara keilmuan, Unusia harus membangun,” tegasnya.

Diskusi yang dipandu oleh pengajar Fakultas Islam Nusantara Unusia Jakarta Ulil Abshar Hadrawi itu juga diisi oleh Filolog Nusantara Adib Misbahul Islam.

Pewarta : Syakir NF
Editor : Abdullah Alawi
Â