Nasional HAUL GUS DUR

Dua Dasar Pemikiran Gus Dur

Ahad, 26 Desember 2021 | 11:00 WIB

Dua Dasar Pemikiran Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (Foto: dok NU Online)

Jakarta, NU Online
Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selalu mengemas pemikiran, gagasan, ide-idenya, pemihakan kepada masyarakat bawah itu dengan dua dasar utama yang tidak pernah bisa ditemukan titik lemahnya. Dasar pertama yaitu nilai-nilai agama.

 

Menteri Agama periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin mengatakan hal itu dalam diskusi Gus Dur & Nahdlatul Ulama: Kembali ke Khittah dan Kiprah Lainnya dilangsungkan melalui daring, Jumat (24/12/2021).
 

"Kita tahu bangsa Indonesia, masyarakat Indonesia itu masyarakat yang sangat agamis yang memegang agama sebagai sesuatu yang sangat mendasar," ujar Lukman Hakim Saifuddin.

 

Ia mengatakan bahwa Gus Dur selalu menjelaskan pemikirannya, idenya, gagasannya itu berbasis nilai-nilai agama sehingga memang tidak bisa dibantah oleh masyarakat yang agamis.

 

"Yang kedua basisnya itu adalah nilai-nilai kemanusiaan, lagi lagi ketika bicara tentang kemanusiaan semua orang pasti akan setuju. Karena itu nilai-nilai universal gitu," jelasnya pada diskusi yang diadakan oleh Jaringan Gusdurian dalam rangka Bulan Gus Dur.

 

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kemampuan Gus Dur untuk menjelaskan dengan dua dasar utama itulah yang membuat rezim tidak punya alasan untuk menangkap Gus Dur. Tetapi sebaliknya masyarakat justru malah mendukung Gus Dur.

 

Ia mengungkapkan bahwa Gus Dur itu orientasinya adalah kemanusiaan. Jadi agama tidak hanya titik tolak, pijakan beliau, tetapi juga sekaligus orientasi menuju ke mana. Itu pun juga selalu berbungkus kemanusiaan.

 

"Nah, satu lagi kehebatannya Gus Dur ini adalah kemampuannya untuk melihat persoalan segenting apapun dengan caranya yang penuh jenaka gitu, dan Gus Dur itu nggak hanya cerdas, tapi cerdik. Jadi ungkapannya itu jokes tapi sebenarnya itu juga terjadi," terang putra Menag KH Saifuddin Zuhri ini.
 

Lukman Hakim Saifuddin menceritakan ke mana pun Gus Dur pergi selalu diikuti oleh Intel, ketika datang ke majelis selalu saja ada tamu yang tidak diundang. Sehingga dalam forum Gus Dur merubah bahasa yang digunakan dengan Bahasa Arab, dan mengajak semua hadirin untuk berbahasa Arab. Sementara Intel itu nggak tahu itu yang dibicarakan apa.


"Jadi yang begini-begini ini khas Gus Dur gitu, menyikapi keadaan yang genting atau apapun dengan gagasan yang gitu aja kok repot. Itu kelebihan yang jarang dimiliki oleh pemimpin kita," jelasnya.

Patut bersyukur

Pada kesempatan itu, Lukman Hakim mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama dan bangsa Indonesia patut bersyukur memiliki Gus Dur.

"Kita bersyukur sekali ya, khususnya Nahdlatul Ulama dan Bangsa Indonesia. Itu menurut hemat saya amat sangat bersyukur kita punya Gus Dur. Ketika itu Gus Dur adalah sosok orang NU yang nyaris bisa mewakili semua lapisan masyarakat yang ada di Indonesia," ujarnya.

 

Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa Gus Dur tidak hanya santri yang merupakan basis dari NU itu sendiri, dari sisi keturunan Gus Dur merupakan putra dari KH Wahid Hasyim, dan cucu dari KH Hasyim Asy'ari, orang yang sangat berjasa bagi bangsa Indonesia.

 

"Jadi dari sisi nasab keturunan, dari sisi kapasitas personal, kemampuan Gus Dur, wawasannya, pengetahuannya, dan seterusnya itu memang di atas rata-rata. Memiliki aspirasi yang sangat memberikan harapan baru bagi warga NU ketika itu," jelasnya.

 

Ia menceritakan bahwa sejak tahun 1970 an Gus Dur sudah dikenal sebagai aktivis yang wawasannya sangat luas. Gus Dur itu bisa bicara apa saja terkait dengan hampir semua persoalan, tidak hanya persoalan agama. Tapi juga persoalan kebudayaan, ekonomi, hukum, politik, dan lain sebagainya.

 

"Jadi memang ketika itu tidak ada, nyaris tidak ditemukan sosok figur yang kapasitasnya itu bisa menandingi Gus Dur di internal NU. Itulah kemudian mengapa tidak ada pertentangan atau perbedaan pendapat yang tajam. Lalu kemudian ketika itu bersepakat mendaulat Gus Dur untuk menjadi Ketua Umum, dan itu aklamasi tidak ada voting, tidak ada pemilihan karena semuanya bertemu pada aspirasi yang sama, pada pemikiran yang sama," pungkasnya.

 

Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Kendi Setiawan