Nasional

Hanya di Negara Merdeka Umat Islam Bisa Jadi Hamba Ideal dan Khalifah Sukses

Ahad, 14 November 2021 | 23:30 WIB

Hanya di Negara Merdeka Umat Islam Bisa Jadi Hamba Ideal dan Khalifah Sukses

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta KH Nasaruddin Umar (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta KH Nasaruddin Umar menjelaskan, hanya di negara yang merdekalah umat Islam bisa menjadi seorang hamba yang ideal dan sukses mengemban tugas sebagai khalifah.

 

"Tidak ada perjuangan yang lebih mulia kecuali memerdekakan suatu bangsa. Tanpa negara yang merdeka, tentu tidak mungkin seorang hamba bisa menjalankan fungsinya sebagai hamba yang ideal," kata Kiai Nasar dalam Pesantren Digital bertema Meneladani Perjuangan Kiai dan  Pahlawan Membela Negara dikutip NU Online dari Kanal Youtube Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), Sabtu (13/11/2021). 

 

Umat Islam tidak akan bisa menunaikan kewajiban shalat secara khusyuk di tengah agenda penculikan dan dentuman bom yang dilakukan para penjajah. Tidak bisa pula membayar zakat kalau rakyat terpuruk karena kekayaan dan pundi-pundi keuangan masih dikuasai penjajah.

Bahkan, seorang Muslim tidak akan bisa berangkat haji kalau izin keluar negeri dimonopoli penjajah. Lebih parah, umat Islam tidak akan bisa shalat kalau masjid selalu buka-tutup. Apalagi kalau ketahuan seorang praktisi Muslim yang melaksanakan shalat maka nyawa bisa melayang.

 

"Jadi tidak ada kemerdekaan beribadah, tidak ada kemerdekaan seorang hamba tanpa kemerdekaan (suatu negara-bangsa)," tegas kiai yang juga Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.

 

Itulah alasan para pimpinan pondok pesantren dan ulama, pada masa penjajahan, bersedia untuk turun di barisan terdepan memimpin pergerakan melawan pasukan penjajah. Sebab keyakinan atas kekuasaan Allah yang menjadi dorongan untuk berangkat melakukan pertempuran dengan para penjajah ketika itu.

 

"Berangkat belum tentu dilihat oleh musuh, dilihat musuh belum tentu ditembak, ditembak belum tentu senjatanya meletus, meletus belum tentu kena, kena belum tentu mati. Kalaupun mati, syahid. Bagaimana bisa mundur kalau tekad seorang pahlawan sudah seperti ini," tegas Profesor Tafsir dari Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

 

Dikatakan, bahasa agama untuk menggelorakan jihad lebih dahsyat daripada senjata. Karena itu tak heran ketika bambu runcing mampu mengusir tank dan jet tempur para pasukan sekutu yang menjajah negeri ini. Sebesar apa pun sebuah persenjataan, tidak akan pernah bisa melawan semangat yang berkobar-kobar dari hati yang dimotivasi oleh agama. 

 

"Moto para pejuang kita terdahulu, isy kariman aw mut syahidan. Hidup mulia atau mati syahid. Hanya dua pilihannya. Penjajah tidak berkutik menghadapi kekuatan umat pada waktu itu," terang kiai kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, pada 23 Juni 1959 itu. 

 

"Demikian pula kita tidak bisa menjadi khalifah yang baik sebagai kapasitas kedua yang diemban manusia, kalau tempat untuk mengejawantahkan konsep kekhalifahan dikendalikan oleh penjajah," imbuhnya. 

 

Menurut Kiai Nasar, umat Islam tidak akan bisa menjadi menjadi raja dan penguasa, serta memakmurkan alam, bumi, dan membangun bangsa apabila sendi-sendi kenegaraan masih di dalam kekuasaan para penjajah. 

 

Dengan demikian, tidak mungkin umat Islam Indonesia bisa menjadi hamba yang ideal dan khalifah yang sukses kalau masih ada penjajah. Wajar, apabila para ulama menggerakkan seluruh kekuatan santri yang dimiliki untuk melawan kekuatan penjajah. Taruhannya, mati syahid atau hidup mulia. 

 

"Maka umat Islam Indonesia harus bersyukur. Bukan saja karena dikaruniai tanah dan tumbuh-tumbuhan yang subur, lautnya sangat kaya, dan udara yang sangat jernih, tetapi yang terpenting (karena) keberadaan umat Islam yang kompak, bahkan berbeda agama pun kompak. Inilah yang membuat Indonesia merdeka," pungkas Kiai Nasar.



Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan