Nasional

Empat Dampak Buruk dari Perkawinan Anak

Sen, 5 April 2021 | 17:15 WIB

Empat Dampak Buruk dari Perkawinan Anak

Upaya mengedukasi masyarakat dalam mengenali penyebab munculnya dampak buruk dari perkawinan anak perlu disosialisasikan utamanya lewat kajian-kajian khusus perempuan.

Jakarta, NU Online

Wakil Ketua Gerakan Nasional Anti-Narkoba (Ganas Annar) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Latri M. Margono menerangkan bahwa perkawinan anak menyebabkan sejumlah problem sosial, ekonomi, maupun politik di tengah masyarakat.


Hal itu disampaikan dalam ruang konsultasi digital KUPI, Ahad (3/4) kemarin. Latri mengatakan alasan tersebut mempunyai dasar kuat atas larangan perkawinan anak karena dapat menimbulkan beberapa dampak buruk yang bisa mempengaruhi psikis anak. 


"Pertama, perkawinan anak salah satu penyebab tingginya jumlah perceraian. Kedua, perkawinan anak berdampak pada kualitas SDM. Ketiga, perkawinan anak pemicu sikap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Keempat, perkawinan anak menyebabkan berbagai masalah kesehatan," kata Latri.


Anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu menuturkan, perkawinan membutuhkan kedewasaan dan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis melainkan juga aspek psikologis, sosial, mental, dan spiritual. Maka, upaya mengedukasi masyarakat dalam mengenali penyebab munculnya dampak buruk dari perkawinan anak perlu disosialisasikan utamanya lewat kajian-kajian khusus perempuan.


"Misalkan diperlukan pendidikan seks yang komprehensif sejak tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang menekankan pada aspek kesehatan reproduksi juga tanggungjawab moral dan sosial," tutur perempuan yang juga Koordinator Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) itu.


Latri menyarankan sosialisasi lewat pendidikan agama dengan implementasi kekinian menjadi cara efektif mengenalkan ajaran agama yang lebih humanis, damai, dan ramah terhadap anak. Ajaran agama menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sehingga sangat relevan dijadikan acuan sebagai prinsip perlindungan terhadap anak.


Mengamini pernyataan Latri, Bela Yugi Fazny yang juga anggota KUPI menambahkan, edukasi perencanaan karir yang matang juga dibutuhkan untuk membekali wawasan anak-anak tentang perencanaan kehidupan di masa depan. 


"Kalau di sekolah peran perencanaan karir merupakan kinerja konselor sekolah atau guru sesuai peraturan pemerintah nomor 111 tahun 2014," kata Bela.


Meskipun sulit dan menjadi tantangan, lanjut Bela, pengedukasian mengenai Kesehatan Seksual dan Reproduksi (Kespro) perlu disampaikan dan mendapat perhatian dari pihak sekolah.


"Perihal edukasi kespro di wilayah pendidikan sebenarnya juga sudah menjadi program kerja Bimbingan Konseling. Namun memang tantangan terberatnya karena masih banyak yang beranggapan tabu dalam memahami pemaknaan kespro," tandas dia.


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad