Nasional

Fatayat NU Dorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif

Sel, 6 Juni 2023 | 09:00 WIB

Fatayat NU Dorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif

Ketua Umum PP Fatayat NU, Margaret Aliyatul Maimunah. (Foto: Dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif merupakan wujud konkret pengakuan terhadap perempuan untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan hukum dan kebijakan.Ā 


Ketua Umum PP Fatayat NU Margaret Aliyatul Maimunah menuturkan di Indonesia kaum perempuan masih dianggap berbeda sehingga perlu affirmative action atau aksi afirmasi untuk mendorong keterwakilan dan peran perempuan di dalam lembaga-lembaga bernegara.


"Keterwakilan perempuan bukan sebuah formalitas itu target yang ingin dicapai agar kedudukan perempuan sama. Tapi kalau dibiarkan langsung bersaing sulit, karena itu perempuan harus didorong melalui aksi afirmasi," kata Margaret kepada NU Online, Ahad (4/6/2023).


Margaret menjelaskan, salah satu bentuk affirmative action dengan mendorong kuota 30 persen perempuan dalam menduduki posisi strategis di dalam partai politik. "Saat ini perlu upaya lebih keras memenuhi afirmasi aksi ini sehingga target tercapai bukan sekadar formalitas," jelasnya.


Margaret menjelaskan, dari sisi kuantitas dan jumlah keterwakilan perempuan belum memenuhi target yang diharapkan yakni 30 persen. Hal ini sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 2 menyebutkan bahwa ā€œpendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30 persen keterwakilan perempuanā€.


"Kalau bicara keterwakilan perempuan di posisi strategis berdasarkan politik baru bisa tercapai sekitar 20 persen belum bisa capai 30 persen sampai hari ini," ungkap Margaret.


Dilihat dari komposisi jumlah perempuan dan laki-laki di Tanah Air perbedaannya tipis. Perempuan sekitar 45 persen kemudian laki-laki 55 persen. "Seharusnya kalau perempuan memiliki kualitas yang sama tentu jumlahnya tidak hanya sekadar 30 persen bisa lebih dari itu," bebernya.


Sementara itu, penulis buku Feminisme Kritis,Ā Amin Mudzakkir mengatakan sistem politik di Tanah Air masih cenderung feodal jadi hanya memberikan ruang sedikit bagi keterwakilan perempuan khususnya kalangan bawah.


"Keterwakilan perempuan itu konsep mulia dan bagus, tapi melihat kenyataan politik kita yang masih feodal dan mengandalkan politik uang, iya sulit," terangnya.


Beberapa pihak telah memperjuangkan agar perempuan bisa masuk ke DPR namun seringkali gagal di lapangan. "Jadi banyak perempuan keren punya gagasan tersingkir enggak bisa masuk ke sistem. Perjuangannya dipotong di tengah jalan tidak ada akses ke dalam dan tidak punya uang," jelasnya.


Menurut Amin, untuk memaksimalkan keterwakilan perempuan perlu reformasi penataan sistem politik agar lebih demokratis dan bisa diakses oleh semua orang.Ā 


"Harus mereformasi sistem politiknya dulu kalau perempuan dan laki-laki ingin jadi bagian dari sistem politik di legislatif, yudikatif, dan eksekutif," tandasnya.


Kontributor: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad