Nasional

Federasi Buruh Migran Sarbumusi Desak DPR Segera Sahkan RUU Perlindungan PRT

Ahad, 25 Desember 2022 | 15:30 WIB

Federasi Buruh Migran Sarbumusi Desak DPR Segera Sahkan RUU Perlindungan PRT

Ketua Umum F-Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin (tengah) mengatakan pentingnya RUU Perlindungan PRT segera disahkan karena kasus-kasus yang terjadi pada PRT terus bertambah dan selalu berulang, sehingga perlindungan melalui UU kepada PRT saat ini sudah sangat mendesak. (Foto: Sarbumusi)

Jakarta, NU Online

Federasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (F-Buminu Sarbumusi) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).


Ketua Umum F-Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin menjelaskan pentingnya RUU Perlindungan PRT untuk segera disahkan. Salah satunya karena kasus-kasus yang terjadi pada PRT terus bertambah dan selalu berulang, sehingga perlindungan melalui UU kepada PRT saat ini sudah sangat mendesak. 


Ali menyebut, tujuh juta PRT di dalam dan luar negeri adalah perempuan yang rentan terjadi eksploitasi, kekerasan fisik, kekerasan seksual, waktu kerja yang lama, gaji tidak sesuai, tidak ada jaminan sosial, dan bahkan kerap menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). 


"Pekerja migran sebagian besar adalah sektor PRT yang justru paling banyak bermasalah dan ironinya bagaimana menuntut keadilan di negara orang sementara negara sendiri saja belum ada UU perlindungan PRT," tutur Ali Nurdin kepada NU Online, Ahad (25/12/2022).


Menurut Ali, PRT di Indonesia telah ikut serta dalam pembangunan nasional. Secara sederhana, Ali mencontohkan bahwa para pejabat di Indonesia tidak akan bisa kerja maksimal apabila tanpa jasa PRT. 


Begitu pula para PRT di luar negeri yang melalui remitansi (transfer uang) telah menyumbang devisa negara terbesar kedua setelah Migas.


"Oleh sebab itu kami mendesak DPR agar RUU Perlindungan PRT segera dibahas dan disahkan," tegas Ali Nurdin.


Ia menyampaikan bahwa Kongres Ke-6 Sarbumusi di Sidoarjo serta Rapat Pimpinan dan Rapat Kerja Nasional Sarbumusi di Jakarta telah menjadikan RUU PPRT sebagai agenda prioritas untuk mendorong segera ada pembahasan di DPR.


Bahkan, kata Ali Nurdin, Presiden DPP K-Sarbumusi Irham Ali Saifuddin juga menegaskan agar jaminan perlindungan PRT bisa diperkuat melalui-melalui regulasi-regulasi di tingkat nasional maupun daerah, baik di level kementerian, lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, ataupun pemerintah desa.


Selain itu, dorongan agar RUU PPRT ini segera disahkan juga menjadi salah satu rekomendasi dari Muktamar Ke-34 NU di Lampung, pada Desember 2021 lalu. 


Pada Muktamar NU di Lampung itu, pembahasan RUU PPRT itu dibahas di dalam Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah. Forum ini mendorong para ulama dan masyarakat luas untuk dapat mengedukasi publik terkait profesi PRT, hak-hak dan kewajibannya yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam Ahlussunah wal Jamaah. 


Perjalanan RUU PPRT

Dikutip dari kanal dokumen situs www.dpr.go.id, RUU PPRT ini telah diajukan sejak 2004 dan masuk ke dalam Prolegnas setiap masa periode masa bakti DPR RI. Kemudian dalam periode 2009-2014, RUU PPRT masuk Prioritas Tahunan dari 2010, 2011, 2013, dan 2014. 


Sejak 2010, RUU PPRT ini masuk dalam pembahasan Komisi IX DPR RI. Kemudian pada 2010-2011, Komisi IX DPR RI melakukan riset di 10 kabupaten/kota. Lalu pada 2012, Komisi IX DPR RI melakukan uji publik di tiga kota yaitu Makassar, Malang, dan Medan.


Di tahun yang sama, 2012, Komisi IX DPR RI melakukan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina. Kemudian pada 2013, draf RUU PPRT diserahkan ke Badan Legislasi DPR RI. Hingga 2014 RUU PPRT berhenti di Baleg DPR RI. Lalu pada periode 2014-2019 masuk ke dalam Prolegnas (waiting list). Di masa bakti periode 2019-2024, RUU PPRT masuk lagi dalam Prolegnas. Kemudian masuk ke dalam RUU Prioritas 2020. 


Urgensi RUU PPRT

Berdasarkan survei yang dilakukan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Universitas Indonesia pada 2015, jumlah PRT berjumlah 4,2 juta dengan tren meningkat setiap tahun. Angka itu cukup besar sebagai pekerja yang selama ini tidak diakui dan dilindungi.


Secara kuantitas, jumlah PRT di Indonesia tergolong paling tinggi di dunia jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia seperti India (3,8 juta) dan Filipina (2,6 juta). Sementara secara persentase, sebagian besar PRT adalah perempuan (84 persen) dan anak (14 persen) yang rentan eksploitasi atau risiko terhadap perdagangan manusia (human trafficking). 


Urgensi lain adalah karena PRT merupakan pekerja yang rentan. Mereka bekerja dalam situasi yang tidak layak. Di antaranya jam kerja yang panjang (tidak dibatasi waktu), tidak ada istirahat, tidak ada hari libur, tidak ada jaminan sosial. Ditambah pula rentan terjadi kekerasan dalam bekerja baik secara ekonomi, fisik, dan psikis (intimidasi, isolasi). 


PRT juga tergolong angkatan kerja yang tidak diakui sebagai pekerja, sehingga dianggap pengangguran. Selama ini, PRT  pun tidak diakomodasi dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan Republik Indonesia. 


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan