Nasional

Fenomena Jasa Doa di Kuburan Jelang Ramadhan, Bayar Seikhlasnya

Jum, 17 Maret 2023 | 17:00 WIB

Fenomena Jasa Doa di Kuburan Jelang Ramadhan, Bayar Seikhlasnya

Fenomena penyedia jasa doa di kuburan merupakan pemandangan lazim setiap tahun menjelang Ramadhan. Seperti yang terlihat di TPU Utan Kayu Jakarta Timur, Kamis (16/3/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ramadhan segera tiba, hanya tinggal menghitung hari. Sebagian masyarakat memiliki beragam cara untuk menyambut bulan yang penuh ampunan itu. Salah satu tradisi menjelang Ramadhan adalah ziarah kubur.


Di Jakarta, para peziarah mulai memadati Taman Pemakaman Umum (TPU) pada hari-hari akhir bulan Sya'ban. Mereka berkunjung ke makam para leluhur, orang tua, dan sanak famili yang telah mendahului. 


Fenomena seperti itu tampak di TPU Utan Kayu, Jakarta Timur. Banyak peziarah berdatangan bersama rombongan keluarga untuk mendoakan salah seorang anggota keluarga yang telah meninggal.


Namun, tak semua peziarah hafal dan lancar merapalkan doa-doa. Terlebih jika harus membaca surat Yasin, tahlil, tahmid, dan shalawat. Karenanya, mereka perlu dibimbing agar doa-doa yang dikirim ke mayit dapat dengan khusyuk dibacakan. 


Fenomena penyedia jasa doa di kuburan merupakan pemandangan lazim setiap tahun menjelang Ramadhan. Seperti yang terlihat di TPU Utan Kayu Jakarta Timur, Kamis (16/3/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)

 

Laim, seorang ustadz di TPU Utan Kayu asal Pulogadung, menyediakan jasa doa bagi para peziarah yang datang tetapi tak hafal susunan doa-doa, mulai pembacaan Yasin hingga tahlil. Dia tidak sama sekali memasang tarif. Berapa pun uang yang diberikan oleh peziarah, akan diterimanya. 


Ustadz Laim, begitu sapaan akrabnya, sehari-hari merupakan seorang pedagang gulali. Tetapi khusus pada bulan Sya'ban, dari pagi hingga petang, dia berada di TPU Utan Kayu.


Salah seorang peziarah dari Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Fajar bersama ibunya, meminta Ustadz Laim untuk memimpin pembacaan surat Yasin, tahlil, dan ditutup dengan doa.


Di bawah terik matahari yang menyengat, sekitar pukul 12.13 WIB, pembacaan yasin di atas makam ayah dari peziarah bernama Fajar itu dimulai. Ustadz Laim membuka buku yasin, begitu pula Fajar dan ibunya.  


Karena panas matahari yang sangat panas, Ustadz Laim terlihat beberapa kali menyeka keringat menggunakan serban yang menggantung di lehernya. Dia sangat khusyuk dan lidahnya pun sangat fasih membacakan surat Yasin serta memimpin tahlil dan doa.


Kepada NU Online, Ustadz Laim yang kini memiliki tiga orang anak itu mengaku tak punya latar belakang pendidikan keagamaan pesantren. Dia belajar agama dari guru ke guru di majelis taklim yang ada di kampung-kampung se-Pulogadung, Jakarta Timur.


Dari para guru itu, Laim belajar qiraah dan memiliki bekal berupa hafalan doa-doa. Inilah yang menjadi bekal dirinya untuk berani tampil sebagai ustadz bagi masyarakat urban di ibu kota. 


Bekerja sebagai penyedia jasa doa di TPU Utan Kayu, sudah ditekuninya sejak 2018, lima tahun lalu. Tetapi dia hanya ada di TPU pada bulan Sya'ban. Ustadz Laim mengaku ridha dan ikhlas membantu masyarakat yang ingin mendoakan keluarganya di atas makam.


"Saya membantu dengan ridha dan ikhlas, istilah kata tanpa dibatasi, dikasih berapa pun, walaupun dikasih Rp10 ribu, ikhlas. Yang penting kita niatnya ikhlas aja udah. Kan kebanyakan peziarah-peziarah nggak bisa baca doa, nggak bisa juga baca Yasin," kata Ustadz Laim dengan dialek Betawi yang kentara.


Ketika ada yang meminta tolong untuk dibacakan surat Yasin, dia langsung bersedia. Bahkan, Ustadz Laim pernah bertemu dengan peziarah yang tidak punya uang. Namun hal itu tak masalah baginya. 


"Nggak masalah, saya nggak mencari uang kok, saya mencari keikhlasan. Kemarin ada anak masih muda, umur 11 tahun meninggal, anak pertama. 'Pak ustadz saya nggak punya uang tapi saya pengin doa, bacain surat Yasin'. Ayo silakan, saya ke sini bukan mencari uang, tapi mencari keikhlasan," katanya lagi.


Meski secara terang-terangan siap membantu peziarah membantu memimpin pembacaan surat Yasin, tahlil, dan doa, tetapi Ustadz Laim tak pernah dengan sengaja menawarkan jasa kepada para pengunjung TPU Utan Kayu. Pekerjaan itu dia lakukan murni berdasar permintaan peziarah. 


Dia tidak pernah menghampiri rombongan peziarah yang tengah berdoa di atas kuburan untuk memakai jasanya. Sebab apabila hal itu dilakukan, bagi Ustadz Laim, sama saja dengan mengharap belas kasihan atau bahkan imbalan dari orang lain. "Saya nggak gitu," kata Ustadz Laim.


Fenomena penyedia jasa doa di kuburan merupakan pemandangan lazim setiap tahun menjelang Ramadhan. Seperti yang terlihat di TPU Utan Kayu Jakarta Timur, Kamis (16/3/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)

 

Jadwal Tugas

Setiap hari, sepanjang Sya'ban, Ustadz Laim sudah tiba di TPU Utan Kayu pukul 07.00 WIB sampai menjelang waktu maghrib. Dia sengaja bertugas di pemakaman hanya pada bulan Sya'ban, karena di bulan inilah peziarah akan sangat banyak, terutama saat-saat menjelang Ramadhan.


Dari rumahnya yang di Pulogadung itu, Ustad Laim menggunakan sepeda menuju TPU Utan Kayu. Perjalanan ditempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit. Sejak pagi itu, dia mempersiapkan segala sesuatunya yakni serban, peci, baju koko, sarung, dan tentu saja doa-doa. 


Ustadz Laim menegaskan bahwa tak ada tipe atau kriteria khusus bagi peziarah yang datang ke TPU dan meminta jasa doa kepadanya. Tetapi dia akan menerima siapa pun, baik orang kaya maupun miskin, semua akan dibantu.


Penghasilan Tukang Doa

Sepanjang hari di TPU, dia mendapat banyak uang tip. Pemberian itu beragam nominalnya. Paling besar, Ustadz Laim pernah menerima Rp150 ribu dari peziarah. 


"Yang ngasih ya nggak tentu. Kadang-kadang ada yang ngasih diamplopin, kadang-kadang enggak gitu. Ada yang ngasih Rp10 ribu alhamdulillah. Ada yang ngasih Rp20 ribu alhamdulillah. Saya sih pernah ngalamin paling gede Rp150 ribu," katanya.


"Keseringannya yang ngasih Rp20 ribu, langsung nggak diamplopin. Paling 20-30 ribu langsung, nggak pake amplop. Kadang-kadang diamplopin Rp30 ribu," tambah Ustadz Laim.


Dalam satu hari, Ustadz Laim melayani kurang lebih 10 rombongan peziarah dengan membawa pulang uang kurang lebih Rp150 ribu setiap harinya.


Tentu saja, penghasilan itu tak cukup untuk menghidupi anak istri di rumah. Tetapi pekerjaan sebagai tukang doa itu tetap dia lakoni dengan niat membantu orang dan mengharap keberkahan. 


"Tapi kan kalau menurut (kita) nggak cukup, tapi Allah (selalu) kasih cukup. Biar berkah. (Nomor) satu berkah. Itu keberkahan kita lah, keberkahan dan keikhlasan dan keridhaan kita nomor satu," katanya.

 

Fenomena penyedia jasa doa di kuburan merupakan pemandangan lazim setiap tahun menjelang Ramadhan. Seperti yang terlihat di TPU Utan Kayu Jakarta Timur, Kamis (16/3/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)

 

Selama Ustadz Laim bekerja sebagai tukang doa itu, dia mengaku tak pernah mendapati peziarah yang melakukan perbuatan kurang baik. Semua peziarah yang meminta bantuan doa, selalu ramah dan menerimanya dengan suka hati.


"Saya sih sampein, mudah-mudahan ibu yang pada sehat, panjang umur, dan nanti kita ketemu di bulan Ramadhan depan," pesan Ustadz Laim, tiap kali selesai memimpin pembacaan doa. 


Selain Ustadz Laim, tentu saja ada banyak tukang doa yang siap membantu peziarah. Mereka tidak hanya berasal dari Jakarta, tetapi juga dari daerah penyangga ibu kota. 


Keberadaan para tukang doa berjalan secara natural dan sudah menjadi tradisi yang baik di TPU Utan Kayu, juga TPU yang lain di Jakarta. Mereka bekerja hanya berdasar permintaan peziarah sehingga di antara mereka tidak ada aksi saling berebut untuk mendapat pekerjaan dan meraup keuntungan. 


Sejak pagi hingga petang, mereka menyebar ke semua blok makam. Ada yang memakai payung untuk berlindung dari terik matahari, ada juga yang menjadikan serban layaknya kerudung untuk menutupi kepala. 


Mereka berjalan menyusuri tiap blok makam yang ada. Sesekali terlihat ada yang duduk-duduk untuk sekadar makan, minum, dan menikmati rokok. Saat ada peziarah yang meminta, barulah mereka bekerja. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad