Nasional

Guru Besar IAIN Jember Paparkan Empat Nalar Fiqih Islam Nusantara

NU Online  ·  Sabtu, 27 April 2019 | 17:30 WIB

Guru Besar IAIN Jember Paparkan Empat Nalar Fiqih Islam Nusantara

Guru Besar IAIN Jember, KH MN Harisuddin

Pamekasan, NU Online
Istilah Islam Nusantara khususnya dikaji dari sisi fiqih salah satunya disuarakan oleh Guru Besar Usul Fiqh IAIN Jember, KH Muhammad Noor Harisudin. Melalui Fiqih Nusantara; Metodologi dan Produk dalam Hukum Keluarga dia sampaikan pada Kuliah Tamu di IAIN Madura, Pamekasan, Jawa Timur, Kamis (25/4).

Pada kegiatan yang diadakan Program Studi Hukum Keluarga Islam IAIN Madura, Profesor Haris, sapaan akrabnya mengungkapkan setidaknya ada empat nalar fiqih yang menjadi dasar dan metodologi penetapan fiqih Islam Nusantara.

Pertama, mempertemukan syariat antara nash dan tujuan syariat. Ia mengutip Ibnu al-Qayyim, "Sesungguhnya syari’at itu bangunan dan fondasinya didasarkan pada kebijaksanaan (hikmah) dan kemaslahatan para hambanya di dunia dan akhirat. Syariat secara keseluruhannya adalah keadilan, rahmat, kebijaksanaan dan kemaslahatan. Maka dari itu, segala perkara yang mengabaikan keadilan demi tirani, kasih sayang pada sebaliknya, kemaslahatan pada kemafsadatan, kebijaksanaan pada kesia-siaan, maka itu bukan syari’at, meskipun semua itu dimasukkan ke dalamnya melalui interpretasi."

Kedua, penetapan syariat berdasarkan ilat, hikmah, dan kemaslahatan. Menurutnya, termasuk dalam katagori ini adalah tahqiqul manath dalam beberapa kasus seperti makan kepiting, dan lain-lain.

"Tahqiqul manath adalah meneliti dan menganalisis secara mendalam untuk menetapkan ilat yang dijelaskan dalam nash, ijma’, dan istinbath, dalam kasus yang tidak ditetapkan nash. Misalnya, kepiting yang ada di Indonesia halal karena tidak bisa tergolong hewan yang hidup di dua tempat," paparnya.

Ketiga, melihat adat serta kebiasaan dalam penetapan hukum. Maksud dari adat dan kebiasaan di sini sebagaimana yang disampaikan Wahbah al-Zuhaili, "Sesuatu yang dibiasakan manusia dan dijalaninya dari tiap perbuatan yang telah populer diantara mereka atau juga lafaz yang dikenal dengan sebuah arti khusus yang tidak dicakup bahasa serta hanya memungkinkan makna ketika didengarkan." 

Keempat, mengamalkan konsep sad adz-dzari’ah. Maksud dari sad adz-dzari’ah adalah, "Setiap perbuatan yang menjadi wasilah pada sesuatu yang dilarang, maka hal yang demikian juga dilarang."
 
Ia juga menyebutkan beberapa produk fiqih Nusantara yang diantaranya adalah harta gono-gini yaitu harta bersama suami istri setelah menikah. Penetapan ini didasarkan pada metode urf. "Produk semacam ini dapat kita temui dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 37 dan 39 yang menyebutkan bahwa harta waris akan dibagi setelah harta gono-gini suami istri dibagi berdua," katanya.

Kemudian ia menyebutkan menutup pintu nikah dengan non-Muslim yang juga menjadi produk khusus fiqih Nusantara yang didasarkan pada metode saddud al-dzariah. Majelis Ulama Indonesia, terlihat sekali metode sad ad-dzari’ah yang digunakan dalam menetapkan fatwa-fatwanya, sebagaimana ketetapan Kompilasi Hukum Islam tentang  ditutupnya perkawinan antaragama.

"Perkawinan antaragama, menurut jumhur dilarang atau diharamkan dan tidak sah, kecuali pada kasus seorang laki-laki Muslim yang menikah dengan perempuan non-Muslim (ahli kitab). Dalam kasus yang terakhir ini, jumhur ulama membolehkan karena pengaruh laki-laki dipandang lebih kuat daripada perempuan," katanya.
 
Contoh lain dari produk fiqih Nusantara menurut Profesor Haris dapat ditemui dalam ketentuan pencatatan perkawinan di KUA dalam. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang juga dikuatkan dalam Kompilasi Hukum Islam yang berisi syarat formal perkawinan yang harus dicatatkan secara resmi di KUA.

"Metode yang digunakan dalam hal ini adalah nalar maslahah mursalah karena tidak ada dalil yang qath’i bahwa  itu wajib dilakukan. Sehingga, dalam pandangan negara, pernikahan di bawah tangan dipandang tidak sah," tegasnya. (Mohamad Hafid/Kendi Setiawan)